Selasa, 26 Februari 2013

Berbicara mengenai "waktu"



Berbicara  mengenai  "waktu"   mengingatkan   penulis   kepada ungkapan  Malik  Bin  Nabi  dalam  bukunya  Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat Kebangkitan) -Edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh  Penerbit  Mizan dengan judul Membangun Dunia Baru Islam (1994)-  saat  ia  memulai  uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw.:
Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. "Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat."
Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:
Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia     diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.
 Sedemikian  besar   peranan   waktu,   sehingga   Allah   Swt. berkali-kali  bersumpah  dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti  wa  Al-Lail  (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti  kata  "waktu":  (1)  seluruh  rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan  datang;  (2)  saat  tertentu untuk  menyelesaikan  sesuatu;  (3)  kesempatan,  tempo,  atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Al-Quran   menggunakan   beberapa   kata   untuk   menunjukkan makna-makna di atas, seperti:

a.  Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat.
Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)
 Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:
Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita  ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).
b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui  alam raya  dalam  kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.
Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).
Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24).
 c. Waqt digunakan  dalam  arti  batas  akhir  kesempatan  atau peluang  untuk  menyelesaikan  suatu  peristiwa.  Karena  itu, sering  kali  Al-Quran  menggunakannya  dalam  konteks   kadar tertentu dari satu masa.
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .
 d.  'Ashr,  kata  ini   biasa   diartikan   "waktu   menjelang terbenammya  matahari",  tetapi  juga  dapat diartikan sebagai "masa" secara mutlak. Makna terakhir ini  diambil  berdasarkan asumsi   bahwa  'ashr  merupakan  hal  yang  terpenting  dalam kehidupan manusia.  Kata  'ashr  sendiri  bermakna  "perasan", seakan-akan  masa  harus  digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.
Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa  kesan  tentang pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa indonesia), yaitu:
a.   Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.    
b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).    
c.  Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari   waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,  dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.    
d.   Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.
Demikianlah arti dan  kesan-kesan  yang  diperoleh  dari  akar serta  penggunaan  kata  yang  berarti  "waktu" dalam berbagai makna.

RELATIVITAS WAKTU
Manusia tidak dapat melepaskan diri  dari  waktu  dan  tempat. Mereka  mengenal  masa  lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris  dan lingkungan.  Kesadaran  kita  tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya  (malam  saat terbenam  dan  siang  saat  terbitnya)  maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya  matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan  semacam  ini  telah  menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan  diakui  oleh  Al-Quran  (seperti  setahun sama dengan dua belas bulan pada  surat  At-Taubah  ayat  36),  Al-Quran  juga memperkenalkan  adanya  relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu  yang dialaminya  kelak  di  hari  kemudian.  Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami  tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."
Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga  ratus  tahun lebih,  menduga  bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang,
Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).
Ini karena mereka ketika itu  sedang  ditidurkan  oleh  Allah, sehingga  walaupun  mereka  berada  dalam  ruang yang sama dan dalam rentang  waktu  yang  panjang,  mereka  hanya  merasakan beberapa saat saja.
Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran  ditemukan  kata  kerja  bentuk  masa  lampau   (past tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah Swt. berfirman:
Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ... (QS Al-Nahl [16]: 1).
Bentuk kalimat semacam ini dapat  membingungkan  para  pembaca mengenai  makna  yang  dikandungnya,  karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain  jika  memang  telah  datang  seperti  bunyi  ayat,  mengapa  pada  ayat  tersebut  dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah akan  sirna,  jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang  akan datang  sama  saja.  Dari  sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
Ketika Al-Quran berbicara tentang  waktu  yang  ditempuh  oleh malaikat   menuju   hadirat-Nya,   salah  satu  ayat  Al-Quran menyatakan  perbandingan  waktu  dalam  sehari  kadarnya  sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (men~hadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS Al-Ma'arij [70]: 4).
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang  ditempuh oleh  para  malaikat  tertentu  untuk  naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS Al-Sajdah [32]: 5).
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang  dilakukan  oleh satu  pelaku  mengakibatkan  perbedaan  waktu  yang dibutuhkan untuk  mencapai  suatu  sasaran.  Batu,  suara,   dan   cahaya masing-masing  membutuhkan  waktu  yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini  pada  akhirnya  mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi  mencapai  hal  yang  dikehendakinya.  Sesuatu  itu adalah Allah Swt.
Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).
"Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian  dimensi  manusia,  karena  Allah  berada  di  luar dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)
Ini pun bukan berarti bahwa untuk  mewujudkan  sesuatu,  Allah membutuhkan  kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat  di  atas hanya  ingin  menyebutkan  bahwa  Allah  Swt.  berada  di luar
dimensi ruang dan waktu.
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak  boleh  dipahami secara  mutlak  seperti  pemahaman  populer dewasa ini. "Allah menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus  dipahami sebagai  enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata "tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari --walaupun  kata yaum  dalam  Al-Quran  yang  berarti  hari  hanya terulang 365 kali-- karena umat manusia  berbeda  dalam  menetapkan  jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia  mengenal  pula  perhitungan yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi  Nuh a.s.  hidup  di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29: 14), tidak harus dipahami dalam konteks  perhitungan  Syamsiah atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan  musim  (panas,  dingin,  gugur,  dan  semi) sehingga  setahun  perhitungan  kita  yang  menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.
Al-Quran  mengisyaratkan  perbedaan  perhitungan  Syamsiah dan Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya  penghuni  gua (Ashhabul-Kahfi) tertidur.
Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS Al-Kahf [18]: 25).
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut  perhitungan  Syamsiah, sedangkan   penambahan   sembilan   tahun  adalah  berdasarkan perhitungan  Qamariah.  Seperti  diketahui,  terdapat  selisih sekitar  sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu  adalah  sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.

TUJUAN KEHADIRAN WAKTU
Ketika beberapa orang  sahabat  Nabi  Saw.  mengamati  keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya   kepada   Nabi,  "Mengapa  demikian?"  Al-Quran  pun menjawab,
Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]:189).
Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa  peredaran  matahari dan   bulan   yang   menghasilkan   pembagian  rinci  (seperti perjalanan  dari  bulan  sabit  ke   purnama),   harus   dapat dimanfaatkan  oleh  manusia  untuk  menyelesaikan  suatu tugas
(lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas). Salah  satu  tugas  yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini  dicontohkan  dengan  ibadah  haji,  karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.
Keadaan   bulan  seperti  itu  juga  untuk  menyadarkan  bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak  ubahnya  seperti bulan.  Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil  bagai  sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
Mengingat berkaitan  dengan  masa  lampau,  dan  ini  menuntut introspeksi  dan  kesadaran  menyangkut  semua  hal yang telah terjadi,  sehingga  mengantarkan   manusia   untuk   melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah "menggunakan segala potensi  yang  dianugerahkan Allah   sesuai   dengan  tujuan  penganugerahannya,"  dan  ini menuntut upaya dan kerja keras.
Banyak    ayat     Al-Quran     yang     berbicara     tentang peristiwa-peristiwa  masa  lampau,  kemudian  diakhiri  dengan pernyataan.  "Maka  ambillah  pelajaran  dan  peristiwa  itu." Demikian  pula  ayat-ayat  yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir,  dan  menilai  hal  yang telah dipersiapkannya demi masa depan.
Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]:18).
Menarik untuk  diamati  bahwa  ayat  di  atas  dimulai  dengan perintah  bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta  tempat  bertolak untuk  mempersiapkan  hari  esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.
Hari esok yang dimaksud oleh ayat  ini  tidak  hanya  terbatas pengertiannya  pada  hari  esok  di  akhirat  kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu  yang kita  alami.  Kata  ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga di  antaranya  secara  jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.

MENGISI WAKTU
Al-Quran  memerintahkan  umatnya  untuk   memanfaatkan   waktu semaksimal  mungkin,  bahkan  dituntunnya  umat  manusia untuk mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal  dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan lebih  jauh  tentang  hal  ini,  perlu   digarisbawahi   bahwa sementara  kita  ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi dengan beribadah (dalam  pengertian  sempit).  Mereka  merujuk kepada  firman  Allah  dalam  surat  Adz-Dzariyat ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan  kerancuan,  karena memahami  lam  (li)  pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian,  melainkan juga  dapat  berarti  kesudahannya  atau akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat  8  yang  menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]:  8).
Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan  "agar",  maka  ayat tersebut  akan  berarti,  "Maka  dipungutlah  ia  (Musa)  oleh keiuarga Fir'aun 'agar' ia menjadi musuh  dan  kesedihan  bagi mereka."  Kalimat  ini  jelas  tidak  logis,  tetapi  jika lam dipahami sebagai akibat atau  kesudahan,  maka  terjemahan  di atas  akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun,  dan  kesudahannya  adalah  ia  menjadi  musuh   bagi mereka."
Kembali  kepada  ayat  Adz-Dzariyat  di atas, dapat ditegaskan bahwa  Al-Quran  menuntut  agar  kesudahan   semua   pekerjaan hendaknya  menjadi  ibadah  kepada  Allah,  apa  pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk  melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung  (QS Al-Jum'ah [62]: 10).
Dari sini  ditemukan  bahwa  Al-Quran  mengecam  secara  tegas orang-orang  yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti kanak-kanak. Atau  melengahkan  sesuatu  yang lebih  penting  seperti  sebagian  remaja,  sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk  harta benda  dan  memperbanyak  anak  dengan tujuan berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali  dikemukakan dalam   bentuk   indefinitif   (nakirah).   Bentuk   ini  oleh pakar-pakar bahasa dipahami sebagai  memberi  makna  keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali  Imran ayat 195.
Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
Al-Quran tidak hanya memerintahkan  orang-orang  Muslim  untuk bekerja,  tetapi  juga  kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am ayat 135 dinyatakan,
Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia/akhirat.
Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal  bekerja  saja, tetapi  bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran tidak memberi peluang kepada  seseorang untuk  tidak  melakukan suatu  aktivitas  kerja  sepanjang  saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr dan dua ayat terakhir dari surat   Alam  Nasyrah  menguraikan  secara  gamblang  mengenai tuntunan di atas.
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman  optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan,
 ... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan  (QS 94: 5-6).
Maksudnya,  sesungguhnya  bersama  satu  kesulitan  yang  sama terdapat  dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi ayat  di  atas.  Terlihat  bahwa  kata  al-ushr terulang   dua   kali  dan  keduanya  dalam  bentuk  definitif
(ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata yusra  juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah kebahasaan dikemukakan  bahwa  apabila  dalam  suatu susunan terdapat dua kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya bermakna  sama  sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia berbeda.
Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi  petunjuk kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan walaupun  baru  saja  menyelesaikan  pekerjaan yang  lain, dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain  (QS 94: 7).
Kata faraghta terambil dan kata faragha yang  ditemukan  dalam Al-Quran   sebanyak   enam   kali   dengan   berbagai   bentuk derivasinya. Dari segi bahasa, kata  tersebut  berarti  kosong setelah   sebelumnya   penuh,   baik  secara  material  maupun imaterial. Seperti gelas  yang  tadinya  dipenuhi,  oleh  air, kemudian  diminum  atau  tumpah  sehingga  gelas  itu  menjadi kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh  ketakutan dan  kesedihan,  kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata  ini.  Perlu  digarisbawahi  bahwa  kata   faragh   tidak digunakan   selain   pada   kokosongan   yang  didahului  oleh kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi waktunya  dengan  pekerjaan,  kemudian  ia menyelesaikan  pekerjaan  tersebut,  maka  jarak  waktu antara selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragh.
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang dimaksud  dengan  fan-shab.  Kata fan-shab antara lain berarti berat, atau letih. Kata ini pada  mulanya  berarti  menegakkan sesuatu  sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah Swt. berfirman,
Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan, dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS 88: 17-19).
Kalimat terakhir  pada  terjemahan  di  atas  dijelaskan  oleh Al-Quran  dengan  kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa ilal  jibali  kaifa  nushibat.  Dari kata  ini  juga  dibentuk  kata nashib atau "nasib" yang biasa dipahami  sebagai  "bagian  tertentu   yang   diperoleh   dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas, dan sulit dielakkan".
Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat beberapa  kemungkinan  terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam Nasyrah di atas.  
Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah  tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi nyata.
Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang kepada  Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu  Anda  selesai  dalam  satu  kesibukan,  Anda  dituntut melakukan  kesibukan  1ain  yang  meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib Anda.
Nabi Saw. menganjurkan umatnya  agar  meneladani  Allah  dalam sifat   dan   sikap-Nya  sesuai  dengan  kemampuannya  sebagai makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.

AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
Jika Anda bertanya, "Apakah akibat  yang  akan  terjadi  kalau menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr  (Demi masa),   untuk   membantah   anggapan   sebagian   orang  yang mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang   dinamai   masa   sial  atau  masa  mujur,  karena  yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan  inilah  yang  berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan,  karena  masa  selalu  bersifat  netral.   Demikian Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.
Allah  bersumpah  dengan  'ashr,  yang  arti harfiahnya adalah "memeras  sesuatu   sehingga   ditemukan   hal   yang   paling tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia  merugi  apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman  dan  beramal  saleh"  (dan   seterusnya   sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
Kerugian  tersebut  baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan  disadari  pada  waktu 'ashr  kehidupan  menjelang  hayat  terbenam.  Bukankah  'ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu  agaknya  yang menjadi  sebab  sehingga  Allah  mengaitkan  kerugian  manusia dengan  kata  'ashr  untuk  menunjuk  "waktu   secara   umum", sekaligus  untuk  mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian.
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian).
Kata khusr mempunyai banyak arti,  antara  lain  rugi,  sesat, celaka,  lemah,  dan  sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun.  Kata khusr  pada  ayat  di  atas  berbentuk  indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca  khusr(in),  dan bunyi  in itulah yang disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut  berarti  "keragaman  dan kebesaran",   sehingga   kata  khusr  harus  dipahami  sebagai kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
Kata  fi  biasanya  diterjemahkan  dengan  di   dalam   bahasa indonesia.  Jika  misalnya  Anda berkata, "Baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa  baju berada  di  dalam  lemari  dan uang berada di dalam saku. Yang tercerap dalam  benak  ketika  itu  adalah  bahwa  baju  telah diliputi  lemari,  sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di  dalam  saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.
Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi  pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk  menemukan  jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya  dengan  ayat kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian".
Masa  adalah  modal  utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan  berlalu  begitu.  Ketika  waktu  berlalu begitu  saja,  jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
"Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok."
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila  tidak  diisi, yang  bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal  yang  negatif,  manusia  tetap  diliputi  oleh kerugian.  Di  sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi  Saw. yang  memperingatkan  manusia  agar  mempergunakan  waktu  dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw
Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) .

BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?
Tidak pelak lagi  bahwa  waktu  harus  diisi  dengan  berbagai aktivitas  positif.  Dalam surat Al-'Ashr disebutkan empat hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan  kecelakaan besar  dan  beraneka  ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan (d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya keempat hal  ini  telah  dicakup  oleh  kata  "amal",  namun   dirinci sedemikian  rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak  terjangkau  oleh  kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) .
Iman  --dari  segi  bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian pakar yang mengartikan  iman  sebagai  pembenaran hati  terhadap hal yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup --kata mereka-- karena  yang  penting  adalah pembenaran hati.
Peringkat  iman  dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu  saat  dengan saat  lainnya  pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya.
Nah,   upaya   untuk   mempertahankan  dan  meningkatkan  iman merupakan hal yang amat  ditekankan.  Iman  inilah  yang  amat berpengaruh  pada  hal  diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah Swt.
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,
Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu yang beterbangan.
Ini disebahkan amal atau pekerjaan  tersebut  tidak  dilandasi oleh  iman.  Demikianlah  bunyi  sebuah  ayat  yang  merupakan "undang-undang Ilahi"
Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang  disebut  dalam  surat ini  pada  hakikatnya  merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk menyampaikan suatu  pesan tertentu. Pesan tersebut antara lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah Swt.
Dapat juga  dinyatakan  ada  dua  macam  ajaran  agama,  yaitu pengetahuan  dan  pengamalan.  Iman  (akidah)  merupakan  sisi pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas dasar  inilah ulama memahami makna alladzina amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini  sebagai  "orang-orang  yang  memiliki pengetahuan   tentang   kebenaran".  Puncak  kebenaran  adalah pengetahuan  tentang  Allah  dan  ajaran-ajaran   agama   yang bersumber  dari-Nya.  Jika  demikian, sifat pertama yang dapat menyelamathan  seseorang  dari  kerugian  adalah   iman   atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan  seperempat  dirinya, padahal  ada  empat  hal  yang  disebutkan surat Al-'Ashr yang menghindarkan manusia dari kerugian total.

MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA
Hal  kedua  yang  disebutkan  dalam  surat   Al-'Ashr   adalah 'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal (pekerjaan)  digunakan  oleh  Al-Quran   untuk   menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.
Kiranya  menarik  untuk  mengemukakan  pendapat beberapa pakar bahasa yang menyatakan bahwa kata 'amal dalam  Al-Quran  tidak semuanya  mengandung  arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik --kata  mereka-- juga  dinamai  'amal.  Rasul  Saw.  menilai  bahwa  niat  baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud surat Al-Zalzalah ayat 7:
Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya.
Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat  daya yang dimilikinya:
  1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.    
  2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah    
  3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi.    
  4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".
Kata  shalih  terambil  dari  akar  kata  shaluha  yang  dalam kamus-kamus  bahasa  Al-Quran  dijelaskan   maknanya   sebagai antonim  (lawan)  kata  fasid  (rusak).  Dengan  demikian kata "saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan. Shalih  juga  diartikan  sebagai  bermanfaat  dan sesuai. Amal saleh  adalah   pekerjaan   yang   apabila   dilakukan   tidak menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila pekerjaan  tersebut  dilakukan  akan  diperoleh  manfaat   dan kesesuaian.
Secara  keseluruhan  kata  shaluha  dalam  berbagai  bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara  umum  dapat dikatakan  bahwa  kata  tersebut  ada  yang  dibentuk sehingga membutuhkan  objek  (transitif),  dan  ada  pula  yang   tidak membutuhkan  objek  (intransitif).  Bentuk  pertama menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita.  Bentuk  ini  memberi kesan   bahwa   objek   tersebut   mengandung   kerusakan  dan ketidaksesuaian  sehingga  pekerjaan   yang   dilakukan   akan menjadikan  objek  tadi  sesuai  atau  tidak  rusak. Sedangkan bentuk  kedua  menunjukkan  terpenuhinya  nilai  manfaat   dan kesesuaian   pekerjaan  yang  dilakukan.  Usaha  menghindarkan ketidaksesuaian pada sesuatu  maupun  menyingkirkan  madharrat
yang  ada  padanya  dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian serta manfaat yang terdapat  pada  sesuatu  dinamai shalah.
Apakah  tolok  ukur  pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama pun   berbeda  pendapat.  Syaikh  Muhammad  'Abduh,  misalnya, mendefinisikan amal  saleh  sebagai,  "segala  perbuatan  yang berguna  bagi  pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
Apabila  seseorang  telah  mampu  melakukan  amal  saleh  yang disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk membebaskan  dirinya  dari  kerugian  total. Namun  sekali  lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal di  atas  baru  membebaskan  manusia  dari  setengah kerugian  karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar  benar-benar selamat,  beruntung,  serta  terjauh  dari  segala kerugian.
Yang  ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya  bukan  di  sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat  dikemukakan  hanyalah  bahwa  al-haq diartikan  sebagai  kebenaran yang diperoleh melalui pencarian ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta  kemampuan  menahan  rayuan  nafsu  demi  mencapai  yang terbaik.
Surat Al-'Ashr  secara  keseluruhan  berpesan  agar  seseorang tidak  hanya  mengandalkan  iman  saja,  melainkan  juga  amal salehnya. Bahkan amal  saleh  dengan  iman  pun  belum  cukup, karena  masih  membutuhkan  ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak  ada  iman.  Memang ada  orang  yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang  merasa  jenuh.  Karena  itu,  ia  perlu  selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar,  sambil  terus  bertahan  bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
Demikian  terlihat  bahwa  amal  atau  kerja  dalam  pandangan Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan,  minum, atau  rekreasi,  tetapi  kerja  beraneka  ragam  sesuai dengan keragaman  daya  manusia.  Dalam  hal  ini   Rasulullah   Saw. mengingatkan:
Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
Demikian surat Al-'Ashr  mengaitkan  waktu  dan  kerja,  serta sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini:
Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka).[]

Minggu, 24 Februari 2013

Akidah dan Amalan Yahudi yang Ditiru oleh Sebagian Kaum Muslimin

Kaum Yahudi adalah orang-orang kafir yang kebenciannya kepada kaum muslimin sangatlah besar. Allah berfirman:
“Sungguh engkau akan dapati orang yang paling keras permusuhannya kepada kalian adalah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin.” (Al-Ma`idah: 82)
Mereka adalah kaum yang dimurkai oleh Allah l. Mereka terus berupaya agar ada di antara kelompok kaum muslimin yang mengikuti mereka. Allah l berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka. ” (Al-Baqarah: 120)
Allah l melarang kita berloyalitas dengan mereka. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (teman dekat kalian); sebagian mereka adalah pemimpin (teman dekat) bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka menjadi pemimpin (teman dekat), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. ” (Al-Ma`idah: 51)
Rasulullah n mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyelisihi mereka. Beliau n bersabda (yang artinya):
“Panjangkanlah jenggot, selisihilah oleh kalian orang-orang Yahudi. ”
Beliau n bersabda pula (yang artinya):
“Shalatlah dengan memakai sandal kalian. Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat memakai sandal.”
Akan tetapi sudah merupakan sunnatullah, akan ada orang-orang yang mengikuti mereka. Beliau n berkata:
“Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga jika mereka masuk ke lubang dhabb niscaya kalian akan mengikutinya. ” Kami katakan: “Ya Rasulullah, apakah (yang dimaksud) Yahudi dan Nasrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di antara amalan dan keyakinan Yahudi yang diikuti sebagian muslimin:
1. Ghuluw
Ghuluw artinya melampaui batas. Adapun dalam syariat, artinya adalah melampaui batas dalam memuji dan mencela.
Ghuluw terjadi dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, maupun adat. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Hai ahli kitab, janganlah kalian berbuat ghuluw (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian’.” (Al-Ma`idah: 77)
Di antara bentuk ghuluw kaum Yahudi adalah mengkultuskan dan menyembah manusia. Allah l berfirman tantang perbuatan Yahudi dan Nasrani:
“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Mereka mengkultuskan ‘Uzair, sebagaimana firman Allah l:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair adalah anak Allah. ’ Orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih (Isa) adalah anak Allah.’ Itulah ucapan yang diucapkan mulut-mulut mereka, menyerupai ucapan orang-orang kafir sebelum mereka.” (At-Taubah: 30)
Kemudian muncul di kalangan muslimin orang-orang yang ghuluw terhadap Rasulullah n dan orang-orang shalih. Padahal Rasulullah n berkata:
”Janganlah kalian mengultuskan aku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengultuskan Isa ibnu Maryam.”
Di kalangan umat ini ada kelompok Sufi yang mengkultuskan Rasulullah n, mengklaim bahwa beliau mengetahui ilmu ghaib. Bahkan sebagian mereka menyatakan semua makhluk diciptakan karena Nabi Muhammad n. Padahal Allah l menyatakan tentang hikmah diciptakannya jin dan manusia:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Demikian juga kelompok Syi’ah yang mengkultuskan orang-orang yang mereka anggap sebagai imam mereka. Di antara bentuk pengkultusan mereka adalah meyakini bahwa imam mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan) dan mengetahui perkara ghaib.
Khomeini (tokoh Syiah) berkata: “Sesungguhnya termasuk perkara yang penting dalam madzhab kami, bahwasanya para imam memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabun (yang dekat) ataupun nabi yang diutus.”
Dalam kitab sesat mereka Al-Kafi disebutkan: “Bab: Para imam mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, serta tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi mereka.”
Inilah ucapan-ucapan kufur yang menunjukkan ghuluw kaum Syi’ah terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai imam.
2. Mentahrif Kalamullah
Tahrif maknanya memalingkan ucapan dari makna yang dzahir kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh konteks kalimat, tanpa ada dalil yang menunjukkannya.
Tahrif ada dua macam: tahrif lafdzi dan tahrif maknawi.
Tafrif lafdzi ada tiga macam:
a. Mengubah harakat, seperti mereka mentahrif firman Allah l:
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
mereka membacanya dengan me-nashab-kan lafzhul jalalah sehingga dibaca: اللهَ sehingga maknanya Nabi Musa lah yang berbicara kepada Allah l.
b. Menambah satu huruf, seperti tahrif yang dilakukan ahlul bid’ah terhadap kata: (naik di atas) mereka tahrif menjadi (menguasai).
c. Menambah satu kata, seperti tahrif yang mereka lakukan dalam firman Allah l: (Rabb-mu datang) menjadi وَجَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ (perintah Rabb-mu datang).
Tahrif maknawi adalah mengubah makna suatu kata tanpa mengubah harakat atau lafadznya. Sebagai contoh mereka memaknakan:(tangan Allah l) dengan makna kekuatan Allah l.
Tahrif adalah perbuatan orang-orang Yahudi. Allah l berfirman tentang mereka:
“Di antara orang Yahudi ada yang mentahrif (menyelewengkan makna) firman Allah dari makna yang benar.” (An-Nisa`: 46)
Di antara bentuk tahrif Yahudi, ketika mereka diperintah untuk mengucapkan حِطَّةٌ (ampunilah) mereka malah mengucapkan حِنْطَةٌ (gandum).
Di kalangan umat ini muncul kelompok-kelompok yang men-tahrif firman Allah l untuk mendukung kebid’ahan dan aqidah mereka yang rusak, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan ahlul bid’ah lainnya. Mereka melakukan tahrif lafdzi dan maknawi yang telah diterangkan di atas.
3. Menjadikan kuburan sebagai masjid
Di antara sebab dilaknatnya Yahudi dan Nasrani adalah menjadikan kuburan sebagai masjid. Rasulullah n bersabda:
“Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
Rasulullah n memperingatkan umatnya dari perbuatan yang demikian. Beliau pernah berkata:
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.”
Namun muncul orang-orang Sufi dan semisal mereka –seperti Rafidhah dan lainnya– yang mengagungkan kuburan-kuburan dan menyembahnya. Mereka melakukan haul, thawaf, dan berbagai macam ritual yang tidak diajarkan oleh Rasulullah n.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan v berkata: “Di antara bentuk ghuluw kepada kuburan dan penghuni kubur adalah mendirikan bangunan di atas kuburan, memberinya lentera, meletakkan kelambu padanya, menulisi nisannya, mengapur (mengecatnya) serta bentuk ghuluw lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah n melarang semua perbuatan ini.” (Syarh Masa`il Jahiliyyah, hal. 226)
4. Berloyalitas kepada musuh-musuh Allah l
Allah l berfirman tentang perbuatan Bani Israil (Yahudi):
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka berwala’ (berloyalitas) kepada orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka persiapkan bagi diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (Al-Ma`idah: 80)
Allah l telah mengharamkan berloyalitas dengan orang kafir. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (teman dekatmu); sebagian mereka adalah pemimpin (teman dekat) bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu berwala’ (berloyalitas) kepada mereka (menjadikannya sebagai pemimpin atau teman dekat), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Ma`idah:51)
Allah l melarang kaum muslimin melakukan perbuatan seperti Yahudi yaitu berloyalitas dan cinta kepada orang-orang kafir. Allah l berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (teman dekat) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali ‘Imran: 28)
Jelaslah bahwa memusuhi dan berlepas diri dari orang kafir dan agama mereka adalah wajib. Prinsip al-wala` wal bara` termasuk kewajiban dalam Islam yang paling besar.
Namun di umat ini ada Syi’ah Rafidhah dan kaum Sufi yang sering membuka hubungan dan ber-wala` dengan orang kafir. Mereka tidak segan-segan berkhianat untuk membantu orang kafir dalam menghadapi muslimin. Pengkhianatan yang pernah mereka lakukan merupakan satu di antara sekian banyak sejarah kelam mereka.
Seorang tokoh Rafidhah bernama Nashir At-Tushi membuat bait-bait syair menyanjung Al-Mu’tashim, salah seorang pemimpin dari Bani Abbasiyyah. Tetapi ketika pemimpin Tartar, Hulagu Khan punya kesempatan untuk membunuhnya, ia pun memberikan isyarat untuk membunuhnya. Pengkhianatan inipun melibatkan seorang Rafidhah lainnya yang bernama Ibnu Alqami. Dialah yang menyarankan Al-Mu’tashim untuk mengurangi pasukan sehingga Hulagu leluasa membunuhnya. (‘Aqidah Ahlus Sunnah wa Mafhumuha, hal. 65)
5. Sihir
Orang-orang Yahudi termasuk orang-orang yang menggunakan sihir, bahkan salah seorang mereka telah menyihir Rasulullah n. Mereka telah membuang apa yang dibawa para rasul, lalu beriman kepada kitab-kitab sihir, sebagaimana Allah l terangkan:
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebagian orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung)-nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir (tidak mengerjakan sihir). Hanya setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al-Baqarah: 101-102)
Amalan Yahudi yang kufur inipun diikuti oleh sebagian orang yang menisbatkan diri kepada Islam. Sebagian mereka mendalami ilmu sihir dan menjauhkan diri dari ilmu agama Allah l.
6. Beriman kepada sebagian ayat Allah l dan mengingkari sebagian yang lain.
Allah l berfirman menerangkan sebagian sifat Yahudi:
“Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab dan mengingkari sebagiannya?” (Al-Baqarah: 85)
Mereka tidak beriman kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Padahal keimanan mereka kepada sebagian ayat Allah l tidaklah bermanfaat bagi mereka jika mendustakan yang lainnya.
Asy-Syaikh Shalih Fauzan v berkata: “Termasuk orang yang mengingkari sebagian ayat adalah orang yang menyatakan Al-Qur`an adalah makhluk, baik lafadz dan maknanya. Atau menyatakan: Lafadznya makhluk, adapun maknanya bukan; seperti ucapan Asy’ariyah. Ini semua adalah ucapan yang mendustakan Al-Qur`an. Barangsiapa yang menyatakan Al-Qur`an adalah makhluk, baik lafadz dan maknanya sebagaimana ucapan Jahmiyah; atau menyatakan bahwa lafadznya makhluk sedangkan maknanya dari Allah l, inipun kufur. Kecuali jika yang mengucapkannya adalah seorang muqallid (orang yang taklid) atau muta`awil (mentakwil) maka dia telah sesat. Karena Al-Qur`an adalah Kalamullah, baik lafadz dan maknanya. Huruf-huruf dan maknanya, semuanya adalah Kalamullah…” (Syarh Masa`il Jahiliyyah, hal. 170)
7. Ta’ashub (fanatik buta)
Di antara sifat Yahudi adalah ta’ashub kepada madzhab yang batil. Mereka berkata sebagaimana firman Allah l:
“Janganlah kalian percaya kecuali kepada orang yang mengikuti agama kalian.” (Ali ‘Imran: 73)
Dalam ayat lain:
“Kami beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 91)
Yakni (beriman) kepada kitab yang turun kepada nabi-nabi kami saja.
Padahal kewajiban mereka adalah beriman kepada apa yang Allah l turunkan kepada nabi mereka dan nabi yang selain dari mereka. Hakikatnya, mereka pun tidak beriman kepada apa yang Allah l turunkan kepada nabi mereka. Oleh karena itu Allah l berfirman:
“Mengapa kalian membunuh nabi-nabi Allah?” (Al-Baqarah: 91)
Yakni, apakah yang Allah l turunkan kepada kalian adalah ajaran membunuh para nabi, seperti yang kalian lakukan?
Amalan Yahudi inipun diikuti oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian mereka fanatik kepada madzhab atau kelompok tertentu tanpa ada dalil. Bahkan dalam hal yang menyelisihi dalil Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n.
8. Hiyal (tipu muslihat)
Di antara amalan Yahudi yang tercela adalah melakukan hiyal dalam rangka menolak apa yang dibawa para rasul serta menyelamatkan kekufuran dan kesesatan mereka. Hal ini mereka lakukan karena tidak mampu menolak secara terang-terangan, sehingga mereka melakukan makar secara tersembunyi. Allah l berfirman tentang mereka:
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali ‘Imran: 54)
Ketika Rasulullah n hijrah ke Madinah dan menang dalam perang Badr, orang Yahudi tidak mampu menghalangi manusia dari agama Nabi Muhammad n. Mereka pun melakukan hiyal dan makar. Sekelompok mereka berkata: “Masuk Islamlah kalian di awal siang, jika sudah di akhir siang murtadlah kalian dari Islam. Ucapkanlah oleh kalian: ‘Tidak kami dapati kebaikan di dalam agama Muhammad’, niscaya manusia mengikuti langkah kalian karena kalian adalah ahlul kitab. Allah l membongkar makar mereka ini dalam firman-Nya:
“Sekelompok ahli kitab (kepada sesamanya) berkata: ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)
Di antara bentuk hiyal dan makar Yahudi adalah ketika mereka dilarang mengambil ikan di hari Sabtu. Maka mereka memasang jaring (jala) di hari Jum’at dan mengambilnya setelah Sabtu. Allah l berfirman:
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163)
Inilah beberapa aqidah dan amalan kaum Yahudi yang Allah l terangkan kepada kita, kami sebutkan agar kita menjauhinya. Hudzaifah z berkata: “Dahulu para sahabat bertanya kepada Rasulullah n tentang kebaikan, adapun aku bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku.”
Seorang penyair berkata:
Aku kenal kejelekan bukan untuk melakukannya, namun untuk menjauhinya
Siapa yang tidak kenal kebaikan dari kejelekan, tentu akan terjerumus padanya
Sebetulnya masih banyak kesesatan yang dilakukan sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada Islam, seperti ucapan sesat orang-orang Syi’ah bahwa Al-Qur`an telah diubah. Ini juga ucapan yang pernah dilontarkan kaum Yahudi (lihat kitab Lillah tsumma Litarikh).
Demikian juga talbis (mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan) yang banyak dilakukan ahlul bid’ah, merupakan warisan Yahudi. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu, sedang kalian mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 42)
Mudah-mudahan apa yang kami tulis ini bermanfaat. Dan mudah-mudahan Allah l memberi taufiq kepada kita untuk menjauhi jalan-jalan kesesatan Yahudi dan orang kafir lainnya.
Wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Kisah Seorang Yahudi tinggal di rumah Rasulullah Sayyidina Muhammad (Dalil Kerukunan Beragama) C

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah mengijinkan seorang yahudi hadir dan tinggal di rumah beliau tanpa mengusirnya , padahal ia seorang yahudi yang berbeda agama dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam , tetapi beliau mengizinkan yahudi itu tinggal di rumah beliau ,
beliau tidak melarangnya atau dengan mengatakan : ” engkau yahudi tidak boleh tinggal di rumahku , kotor dan najis !! ” , tidak demikian akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Orang yahudi itu tinggal bersama Rasulullah dan tidur disana , makan sepiring dengan Rasul, membawakan air minum Rasul , seakan telah menjadi bagian di keluarga Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak dipaksa untuk mengikuti agama Islam , sampai suatu saat ia sakit dan Rasul menjenguknya,
Rasul tidak berkata : ” syukur yahudi itu sakit dan tidak tinggal di rumahku lagi ” ,
rasul tidak demikian tetapi beliau berkata : ” mana orang yahudi yang tinggal di rumahku , mengapa dia pergi, apa kesalahanku ? ! ” .
Maka setelah rasul sampai di rumah orang yahudi itu , ternyata ia sudah dekat dengan sakaratul maut , maka Rasul berkata : ” wahai pemuda , maukah kau ucapakan ” Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah ” , maka pemuda itu pun ragu untuk mengucapkannya ia menoleh ke ayahnya yang juga beragama yahudi ,
maka ayahnya berkata : ” betul , taati Aba Al Qasim dan ikuti ucapan itu ” , dan pemuda itupun mengucapkan ” Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah ” kemudian ia pun wafat , maka berubahlah wajah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan belahan bulan purnama dari terang dan bercahaya karena gembira melihat orang yahudi yang tinggal di rumahnya itu wafat dalam keadaan Islam , demikian indahnya kerukunan umat beragama.

jangan menghina C

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.. Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sungguh-sungguh mengharapkan agar kaum muslimin mampu menciptakan pergaulan yang harmonis, serta cerdas membangun dinamika hidup yang beradab dengan umat agama lain. Firman-Nya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu atas dasar agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu sebagai kawanmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Al- Mu’minuun ayat 8-9). Al-Qur’an mempersamakan orang tua kaum muslimin dengan orang tua kaum musyrikin dalam mengemban kewajiban berbuat baik kepada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Kami amanatkan kepada manusia terhadap kedua orang tua (ibu- bapak) nya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapinya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Dan hanya kepada-Ku tempat kembalimu. Dan jika keduanya memaksakan kehendak kepadamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik….” (Luqman ayat 14-15). Islam sangat membenci fanatisme dan sikap fanatic. Yang dibenarkan itu sepanjang upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, tanpa harus mencampuri urusan agama orang lain, apalagi haus mencelakakan dan merugikan pemeluknya sambil dengan sinis menyerang dan menghina cara- cara keberagamaan orang itu, baik dari intern agamanya sendiri maupun terutama yang berhubungan dengan ekstern agama orang lain. Allah pun tidak sudi menerima kebenaran sefihak dari agama apa pun, termasuk ahli kitab yang mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan bangsa mereka adalah bangsa pilihan di muka bumi ini, serta syurga yang disediakan Allah hanya khusus untuk mereka semata. Allah sungguh amat murka dengan hal seperti itu, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani mengatakan bahwa kami anak-anak Allah dan kekasih-Nya. Katakanlah, mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan bukan pula kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia biasa diantara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan apa yang berada diantara keduanya. Dan kepada Allah-lah tempat kembali (segala sesuatu)” (Al-Maidah ayat 18). Allah pun kembali menegaskan dalam firman-Nya, “Dan mereka, (kaum Yahudi dan Nashrani) berkata : ‘Sekali-sekali tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani’. Demikian itu (hanya) angan-angan palsu mereka belaka. Katakanlah, tolong tunjukkan bukti kebenarab klaim kalian itu, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (Al- Baqarah ayat 111). Rosulullah memberi pelajaran kita agar selalu memberi manfaat kepada orang lain sebagaimana sabda di atas, namaun bagaimana mengaplikasikannya ?. Caranya : • Perduli Terhadap Orang Lain. Dalam Al Qur’an surat Al Fath ayat 29, Allah menerangkan kepada kita bahwa “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya dan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang bersama mereka”. Ayat ini menjelaskan bahwa nabi diutus kepada semua umat manusia dalam rangka memberi peringatan dan kabar gembira, menerangi kehidupan manusia yang dulunya berada dalam kebodohan agar mereka tidak lagi berbuat sewenang- wenang terhadap orang lain. Sebagai contoh, pada zaman jahiliyah, khusunya pada kaum quraisy yang dianggap penguasa, sedangkan orang miskin dan lemah dianggap sebagai budak. Hukum ketika itu bersifat ekslusif dan melindungi orang-orang tertentu saja sehingga orang- orang kuat menindas orang- orang lemah. Allah mengutus Rasulullah untuk mengembalikan hak-hak dan martabat m,anusia yang rusak. Rasulullah memulai kembali dengan menata perilaku seluruh umatnya yang selama ini terjebak dalam kejahiliyahan dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia yang mulia. Orang-orang yang kuat selalu diarahkan untuk berlemah lembut dan mengasihi orang yang lemah, membantu dan melindungi mereka. Manusia dianggap sama keberadaanya di hadapan Allah yang membedakannya hanyalah ketakwaanya. Dengan demikian, kita sebagai generasi penerus muslim hendaknya turut mengasah kepekaan terhadap orang yang lemah atau duafa dengan mengikuti sifat kasih sayang dan lemah lembut yang telah diteladankan oleh Rasulullah. “Allah itu senantiasa menolong hambanya, selagi hambanya itu menolong saudaranya.” (HR Asy Syaikhan). “Perumpamaan seorang mukmin itu (dalam kasih sayang mereka, lemah lembutnya, dan rasa cinta mereka) bagaikan satu jasad atau badan yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya maka seluruh tubuhnya merasakan sakitnya.” (HR Bukhari). Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad). • Menghormati Orangtua. Siapa saja, yang penting orangtua. Bisa jadi orangtua kita sendiri: ayah dan ibu kita. Atau orang lain: tetangga, kakak, senior di kampus, senior di madrasah, dlsb. Orang yang terbiasa menghargai orang lain adalah indikasi etika (moral) yang baik. Orang yang tidak mau hormat dan menghargai orang yang lebih tua darinya, diancam ‘keluar’ dari koridor Islam. Ia tidak akan dianggap sebagai umat Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Na‘udzu billah min dzalik!. • Menyayangi Orang Muda. Orangtua wajib menyayangi anak-anaknya. Ini adalah naluri kemanusiaan. Kita seharusnya meniru sikap orangtua kita yang menyayangi kita. Sehingga, kita bisa menjadi pengayom orang yang lebih muda dari kita. Bisa jadi adik kita, junior di sekolah atau di kampus. Atau bisa jadi anak tetangga yang lebih muda dari kita. Kita harus bisa menimbulkan rasa rahmat (kasih- sayang) kita kepada mereka. Orang yang lebih tua tidak boleh mencerca atau menghina juniornya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang suka mencerca dan mencela serta menghina saudaranya mengindikasikan bahwa dia juga sebenarnya “orang hina”, tidak terhormat. Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Hanya orang burung yang menghinakan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim). Berlombalah untuk memberikan kebaikan kepada orang lain,niscaya orang lain akan senang dengan anda dan merasa diperhatikan juga dihargai. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Rasulullah SAW dan Anak Yatim di Hari Kemenangan

“Barangsiapa yang meletakkan tangannya di atas kepala anak yatim dengan penuh kasih sayang, maka Allah akan menuliskan kebaikan pada setiap lembar rambut yang disentuh tangannya. (HR. Ahmad, Ath-Thabrani. Ibnu Hibban, Ibnu Aufa)”
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan. Suatu hari Rasulullah SAW., keluar dari rumahnya untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri. Saat itu beliau menyaksikan anak-anak yang tengah bermain bersuka cita menyambut hari kemenangan. Diantara anak-anak yang tengah bermain itu, beliau SAW mendapati seorang anak yang tengah bersedih duduk sendiri sambil menundukkan kepalanya. Pakaian yang ia kenakan tak layak untuk dipakai untuk seusianya yang ketika hari raya menginginkan pakaian yang bagus juga baru.
Rasulullah kemudian menghampiri anak itu, dengan lembut nabi mengelus kepala yang kusam dengan lembut.
Lalu beliau SAW bertanya, “Wahai Anakku, apa gerangan yang membuatmu bersedih hati di saat orang lain bersuka cita pada hari ini?”
Dengan mata yang masih nanar anak kecil itu menjawab, “Ya Rajul (wahai lelaki), ayahku telah mati syahid di medan pertempuran bersama Rasulullah. Ibuku menikah lagi. Ayah tiriku merampas sisa harta peninggalan ayahku, lalu mengusir aku. Sehingga aku tak punya makanan, minuman, pakaian, apalagi tempat tinggal,”
Anak itu masih menunduk dan menangis, tidak tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah penghulu para nabi dan rasul, Rasulullah SAW.
“Hari ini kusaksikan teman-temanku bersuka cita karena mereka memiliki ayah, sedangkan aku…,” lanjutnya.
Rasul mendekap anak itu, lalu berkata, “Wahai anakku, apakah engkau ridha jika aku menjadi ayahmu, 'Aisyah sebagai ibumu, Ali pamanmu, Fathimah bibimu, lalu Hasan dan Husain menjadi saudaramu?”
Anak itu menengadahkan kepalanya, ia terkejut. Ternyata lelaki yang mendekapnya itu adalah panutannya, Rasulullah SAW.
“Tidak ada alasan untuk tidak ridha wahai Rasulullah,” jawab anak itu tersenyum bahagia.
Lalu Rasulullah mengajak anak itu ke kediamannya, dan meminta kepada 'Aisyah untuk memandikannya serta memberikan pakaian yang bagus. Juga makanan yang lezat.
Anak kecil yang tadi berpakain lusuh dan berwajah kusam itu kini berubah terlihat bersih dan ceria, rambutnya tersisir rapi tentunya mengenakan pakaian bagus dari Rasul.
Ia keluar dengan senyum mengembang, bahagia. Teman-temanya yang sedang bermain dikejutkan dengan penampilannya yang telah berubah.
“Tadi kau bersedih, kenapa sekarang kau tampak gembira?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Tadi aku memang lapar, tapi sekarang perut ini kenyang. Kalian lihat tadi aku tak berpakaian yang layak, tapi sekarang kukenakan pakaian yang bagus. Kalian mengetahuinya kalau aku adalah yatim, tapi saat ini Rasulullah telah menjadi ayahku, 'Aisyah ibuku, 'Ali dan Fathimah menjadi paman dan bibiku, sedang Hasan dan Husain menjadi saudaraku…” matanya berkaca-kaca.
“Apakah aku tak pantas untuk bahagia di hari kemenangan ini?“ lanjutnya.
Syahdan, ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, anak kecil itu menaburkan tanah. Tepat di atas kepala pusara beliau. Lalu ia istighosah, “Sekarang aku kembali terasing dan kembali menjadi yatim.”
Abu Bakar Ash-Shidiq yang tengah sama bersedih meraih tangan anak itu, dan ia jadikan anak kecil itu sebagai anaknya sebagaimana yang telah Rasulullah lakukan.
Rasulullah SAW bersabda,” Siapa orang yang memakaikan seorang anak yatim pakaian yang indah dan menghiasinya pada hari raya, maka Allah SWT akan menghiasinya pada hari Qiamat. Allah SWT mencintai setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga. (Dari Kitab Zubdah Al Wa'idin). (Roni Yusron Fauzi/A-108)***