Jumat, 26 April 2013

LAFAL SHADAQALLAHUL-'ADZIM

lafal shadaqa Allahul ‘Adzim, walau bukan persoalan baru namun masih ada saja yang bertanya tentangnya dalam mengakhir pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagi sebagian orang, persoalan ini dianggap sangat penting sehingga pantas untuk didiskusikan panjang lebar. Apakah termasuk ibadah atau bid’ah, berdosa atau tidak bila melaksanakannya.

Lafal Shadaqallahul- 'adzim mempunyai makna "telah benarlah Allah yang Maha Agung". Memang tidak dapat ditemukan adanya ayat Al-Qur'an atau Hadits yang menerangkan secara eksplisit (sharih) praktik atau perintah Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan lafal tertentu sesudah membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an hanya mengajarkan bahwa sebelum membacanya kita terlebih dahulu harus mengucapkan lafal ta'awudz. Dalam suratAn-Nahl ayat 98, Allah berfirman;


فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم


Artinya: "Apabila kamu membacaAl Qur'an, hendaklah kamu meminta perlin-dungan kepada Allah dari setan yang terkutuk".(Qs.an-Nahl[16]:98)

Meskipun tidak ditemukan dalam sumber naqli, praktek yang berlaku umum di tengah masyarakat adalah mengucapkan lafal "shadaqallahul-'azhim" setiap mengakhiri membaca Al-Qur’an. Dalam penelusuran kami, sesungguhnya penggunaan lafal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Para mufasir dalam beberapa kesempatan setelah menerangkan tafsir sua­tu ayat, terkadang menimpali tafsirannya dengan ucapan "shadaqallahul-'azhim". Sebagai contoh adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurtubi dalam al-Jami'liAhkamil-Qur'an} Ibnu Ajibah da­lam Tafsir Ibnu Ajibah, asy-Syanqithi da­lam Adlwahul-Bayan dan Sayid Qutb dalam Fi Zhilalil-Qur'an. Menurut hemat kami, lafal ini digunakan sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan (al-Qurtubi: I/27) dan penegasan (afirmasi) komitmen seorang Muslim akan kebenaran berita dan kandungan Al-Qur'an yang difirmankan Allah SwT.

Dalil implisit (ghairu sharih) yang umumnya dijadikan sandaran untuk ba-caan ini adalah Al-Qur'an surat Ali Imran ayat: 95 :

قل صدق الله فاتبعوا ملة إبراهيم حنيفا وما كان من المشركين

Artinya: "Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik." (Qs. Ali Imran [3]: 95)

Ayat ini jika dilihat dari konteksnya me­mang berbicara tentang Bani Israil. Melalui ayat tesebut, Nabi Muhammad saw di-perintahkan oleh Allah SwT untuk menegaskan kepada Bani Israil bahwa Al-Qur'an adalah benar (akurat) tentang kisah-kisah yang ia bawa mengenai Bani Israil di masa lalu. Namun, ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini bukannya sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hukum tajwid dibolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal "Allah", atau bisa disebut waqf jaiz (tempat yang dibolehkan berhenti). Jika kita berhenti di sini, maka ayat ini dapat melahirkan makna yang independen dari ayat sebelumnya dan lafal sesudahnya. Sehingga makna umumnya adalah ucapan "shadaqallahu" tidak mesti diucapkan hanya di depan Bani Israil yang meragukan kebenaran Al-Qur'an, melainkan dapat dibaca kapanpun jika ia dibutuhkan. Adapun penambahan lafal 'al-'adzim' dalam shadaqallahul-'adzim adalah sebagai bentuk ta'dzim (pengagungan) terhadap Allah SwT.

Berangkat dari keterangan di atas, ma­ka pendapat yang dapat kita pegang adalah lafal "shadaqallahul-'adzim" boleh diucap­kan kapan pun, terutama setelah mendengar informasi yang berhubungan dengan kebenaran informasi yang dibawa Al-Qur'an. Demikian juga pengucapannya setelah membaca Al-Qur'an. la dapat diterima dan bukan merupakan bid'ah (meng-ada-ada) dalam urusan agama. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini adalah pelafalan kalimat tersebut tidak boleh diiringi de­ngan keyakinan bahwa ia adalah Sunnah Nabi saw yang diajarkan secara khusus, apalagi menganggapnya sebagai kewa­jiban agama. Sehingga, orang yang meng-akhiri bacaan Al-Qur'an tidak harus mem­baca bacaan ini dan orang yang tidak mem­baca bacaan ini setelah membaca Al-Qur'an juga tidak menyalahi tuntunan aga­ma. Selain itu, catatan lainnya adalah hendaknya lafal ini tidak diucapkan setelah membaca ayat Al-Qur'an di dalam ibadah shalat, karena shalat adalah ibadah mahdlah yang kita hanya diperkenankan mengikuti petunjuk agama dalam pelaksanaannya.
 

1. Ucapan “Shadaqallahul Adzim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) Seusai Setiap Membaca al-Qur’an
Mengucapkan “shadaqallahul azhim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) seusai setiap membaca al-Qur’an merupakan perbuatan bid’ah, karena perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maupun para al-Khulafa’ur Rasyidun atau para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Juga tidak pernah dilakukan oleh para imam-imam salaf padahal mereka sangat sering membaca al-Qur’an, sangat memperhatikannya dan mengerti tentangnya. Dengan demikian ucapan tersebut dan pengharusan bacaannya setiap kali usai membaca al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak.” [1] (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam lafazh yang diriwayatkan Muslim disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” [2][3]
Adapun apabila ucapan tersebut dilafazhkan seseorang sesekali saat mendengarkan suatu ayat atau memikirkannya kemudian ia mendapatkan suatu pengaruh yang nyata dalam dirinya, maka tidak mengapa baginya untuk mengucapkan “Mahabenar Allah Yang Mahaagung, telah terjadi begini dan begitu”. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:"Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 3:95)
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah.” (QS. 4:87)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda :
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah.” [4]
Maka boleh mengucapkan ucapan Shadaqallah dalam beberapa peristiwa yang menunjang ucapan tersebut, seperti bila melihat sesuatu yang terjadi, yang sebelumnya Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengingatkannya.
Namun apabila kita menjadikan ucapan tersebut seakan-akan termasuk hukum bacaan, maka perbuatan itu tidak ada dasarnya dan mengharuskannya termasuk bid’ah. Yang ada dasarnya dalam hukum bacaan adalah memulai membaca dengan mengucapkan isti’adzah (doa mohon perlindungan), sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa ta'ala :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. 16:98).
Rasulullah mengucapkan doa perlindungan dari setan saat memulai membaca al-Qur’an dan membaca basmalah setiap awal surat selain surat Bara’ah (at-Taubah). Adapun seusai membaca al-Qur’an, tidak ada pengharusan untuk mengucapkan dzikir khusus atau ucapan “shadaqallah”, atau lainnya. [5]
 

Minggu, 07 April 2013

Penyesalan di akhirat bagi mereka yang lalai berdzikir sewaktu di dunia

Penyesalan di akhirat bagi mereka yang lalai berdzikir sewaktu di dunia
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلاَّ تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu waktu pun yang terluputkan dari anak Adam untuk berzikir kepada Allah kecuali ia akan menyesali waktu tersebut pada hari kiamat.”
(Hasan; HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 508, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/362, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5720; kutip dari artikel asy-syari’ah)
Beliau juga bersabda:
مَا مِنْ قَوْمٍ، يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ، لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً.
‘Tidaklah suatu kaum berdiri meninggalkan suatu majelis tanpa berdzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka berdiri dari semisal bangkai keledai, dan mereka mendapatkan suatu penyesalan’.”
(dishahiihkan syaikh al Albaaniy dalam ash Shahiihah)
Beliau juga bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ.
“Siapa saja yang menduduki suatu tempat duduk tanpa berdzikir kepada Allah, niscaya dia mendapatkan kerugian dari Allah, dan siapa saja yang tidur terlentang di tempat tidur, tanpa berdzikir kepada Allah niscaya dia mendapatkan kerugian dari Allah.”
(Hasan; HR Abu Dawud)
Beliau juga bersabda:
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ فِيْهِ، إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ.
“Tidaklah suatu kaum duduk dalam suatu majelis sedang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya serta tidak bershalawat kepada Nabi mereka, melainkan mereka akan mendapatkan penyesalan (dari Allah), jika Dia berkehendak niscaya Dia mengazab mereka, dan jika Dia berkehendak niscaya Dia mengampuni mereka.”
(shahiih li ghayrihi; lihat shahiih at targhiib)
Semoga bermanfaat

Bagaimana Rasulullah mengisi waktunya ketika beliau duduk

Bagaimana Rasulullah mengisi waktunya ketika beliau duduk?
dari Ibnu ‘Umar, ia berkata; Dalam satu kali duduk Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam, sebelum beliau berdiri (meninggalkan tempat duduknya), terhitung seratus kali beliau mengucapkan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ
“RABBIGHFIRLII WA TUB ‘ALAYYA INNAKA ANTAT TAWWAABUL GHAFUUR”
(Wahai Rabbku, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi taubat dan Maha Pengampun).
(HR. at Tirmidziy; beliau berkata; Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib; hadits ini dishahiihkan oleh Syaikh al Albaaniy)
Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Maajah, Abu Dawud, dan selainnya disebutkan:
“Apabila kami menghitung ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam duduknya:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Rabbighfirli watub ‘alayya innaka anta tawwabur rahim
(Ya Rabbku ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkaulah Maha penerima taubat dan maha penyayang)
(maka kami mendapati bahwa) beliau mengucapkannya sebanyak seratus kali.”
(HR. Ahmad, Ibnu Maajah, Abu Dawud, dll; dishahiihkan oleh Syaikh al Albaaniy)
benarlah firman Allah tentang beliau:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia BANYAK BERDZIKIR kepada Allah.
(Al-Ahzaab: 21)
Maka hendaknya, kita tidak membuang waktu kita dengan sia-sia, seperti kita duduk di mobil, atau duduk di ruang tunggu; tidak kita isi, melainkan dengan sesuatu yang bermanfaat, yang lebih baik lagi kita mengisinya dengan beristighfar, karena Rasulullah bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Beruntunglah bagi orang yang mendapatkan didalam catatan amalnya istighfar yang banyak.”
(Shahiih, HR. Ibnu Maajah; dishahiihkan syaikh al albaaniy dalam shahiih ibnu maajah)