Ittiba'
Seringkali kita mendengar kalimat...."kita harus berittiba' kepada Nabi SAW"
Apa sih Ittiba' itu? Bagaimana contoh Ittiba' yang benar? Apakah Ittiba'
itu wajib, sunnah atau mubah? Apa standarisasi Ittiba' us-salaf" dengan
segala perkembangan dan perubahannya? Berikut ada artikel yang Insya
Allah bisa menjadi penjelasan kepada kita tentang Makna dan arti dari
Ittiba' serta hukumnya itu sendiri.
Semoga bermanfaat.
Wassalam
Pengertian Ittiba’
Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan
mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai
panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur
Rasul, hal.101-102).
Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu
ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan :
“Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka
engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada
Rasulullah SAW, seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Al-Ahzab:21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : “Ayat ini merupakan azas
pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah SAW dalam
segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475).
Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits
Al-Hujjatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : “Ayat ini memberi
pengertian bahwa Rasulullah SAW adalah panutan kita dan suri teladan
bagi kita dalam segala urusan agama…”
Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil
ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam
Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang
mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA .”
Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan
ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan
pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang
qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid
kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah
dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139}
Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah
mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al
Qur’an dan As Sunnah ash shahihah lengkap dengan perkataan para Sahabat
RA .
Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan
hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian
pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani
, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan
hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang
ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut
adalah seorang muttabi’.
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang
dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan
meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara
itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu
ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan
ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau
dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga
mengagungkannya.
Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga
harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu
kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan
sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.
Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam
hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa
Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan
syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika
hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian
tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau
ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap
sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan
satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan
mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut
Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti :
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’:80)
“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan
memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang
lainnya.
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab
“Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang
disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka
tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak
dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di
sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan
oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang
suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci
(meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR.
Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan
beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah
saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti
meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk
Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar
diterimanya amal seseorang.
Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua:
Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada
Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk
bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka
tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima
semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan
umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat
Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154]
Sunnah Rasulullah SAW dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan
sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rasulullah SAW termasuk
sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi
beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala
sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita
tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah.
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu
‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh
salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena
mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa
amalan itu tidak dikerjakan Rasulullah SAW “
Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
-rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari
anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata :
”Datang tiga orang ke rumah istri Rasulullah SAW . Ketika mereka
dikabari tentang ibadah Rasulullah SAW mereka merasa bahwa ibadah mereka
amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita
dibanding Rasulullah SAW? padahal beliau telah diampuni oleh Allah
dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka
berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya
berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan
yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rasulullah SAW pun bersabda,”Kalian
mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun
aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun
menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia
bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim]
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil
Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas
mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk
mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memang disyariatkan, namun
kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul
Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat
ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh
Rasulullah SAW .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh
beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran
Rasulullah SAW tesebut sesuai sabda beliau, "barangsiapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu
tertolak.”[HR Muslim 1718]. “
Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70
mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat
tergantung dengan petunjuk Rasulullah SAW maka wajib bagi setiap hamba
yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami Sunnah
Rasulullah SAW , petunjuk-petunjuk dan jalan hidup beliau sehingga dapat
digolongkan sebagai atba’ (pengikut) beliau..”
Setelah mempelajari sunnah-sunnah beliau Rasulullah SAW , maka wajib
bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik
secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak
boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.
Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain,
begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak.
Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rasulullah SAW baik yang berkaitan
dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan sosial
ataupun lainnya.
Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu
syar’i yang telah diwariskan Rasulullah SAW kepada ummat. Jadi merupakan
kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk
meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah.
Sekarang setelah kita mengetahui definisi dari Ittiba', hukum dari
ittiba', maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ittiba' kepada
sahabat RA, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu
Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil
ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam
Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang
mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA .,
yang mana ittiba' para sahabat adalah mengikuti Rasul, dan juga
mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman mereka
(salaful ummah), karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah
sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Sebagaimana kita ketahui dari penjelasan diatas bahwa Ittiba' para
sahabat (ittiba' salaf) adalah mengikuti sunnah para sahabat (ulama
salaf) tersebut. Selanjutnya bagaimanakan kita mengikuti sunnah para
sahabat, yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah mereka dalam memahami
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tersebut, yang mana para sahabat ini
memiliki keunggulan dalam memahami nash Al Quran serta hadits
Rasulullah, dikarenakan kemampuan mereka dan keunggulan bahasa Arab
mereka, melebihi orang-orang dari luar Arab dalam melafazhkan dan
memahami nash (yang tertuliskan dalam bahasa Arab itu)
Jadi pemahaman Ittiba' saat ini selain dengan pengertian yang sudah
dijelaskan sebelumnya diatas yaitu, mengikuti apa yang datang dari
Rasulullah SAW dan para Shohabat RA, juga dengan cara memahami Al Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan menggunakan manhaj-manhaj para
sahabat (salaf), seperti mengikuti kaidah-kaidah yang harus dipakai
dalam memahami dan menafsirkan nash-nash dan mengkompromikan nash-nash
jika terjadi perbedaan dan pertentangan, terutama setelah menyebarnya
Islam di luar Arab dan lemahnya penguasaan mereka terhadap bahasa Arab,
juga belajar bagaimana cara mengistimbat hukum dengan benar sesuai yang
diajarkan oleh Manhaj Salaf (yaitu mengikuti mereka tentang
kaidah-kaidah di dalam menafsirkan dan men takwil kan nash, dan
dasar-dasar ijtihad dalam memahami prinsip-prinsip dasar hukum
Islam)(Salafy, karangan Dr.M.Said.Ramadhan al Buthi)
Demikian kira-kira penjelasan Ittiba' diambil dari beberapa pendapat para Imam/Ulama Salaf dan Khalaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar