Minggu, 19 Mei 2013

Dua Puluh Faidah Dzikir

Dua Puluh Faidah Dzikir

Dzikrullah (mengingat Allah) merupakan amalan yang sangat agung. Ia merupakan sebab diturunkannya berbagai nikmat. Penolak segala bala’ dan musibah. Ia merupakan sebab kuatnya hati, penyejuk hati manusia. Ruh kehidupan, sekaligus sebab hidupnya ruh itu sendiri.
Betapa seorang hamba teramat butuh akan dzikrullah, dan tidak merasa cukup dengannya dalam berbagai situasi dan kondisi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al Ahzab : 41). Allah juga berfirman (yang artinya), “Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35).
Banyaknya perintah berdzikir ini menunjukkan bahwa seorang hamba teramat butuh terhadap dzikrullah. Hendaknya dia tidak meninggalkannya sekejap mata sekalipun. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Permisalan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati” (HR. Bukhari). Oleh karena itu dzikir memiliki banyak sekali faidah, sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Al Wabilush Shayyib”, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Dzikir dapat mengusir setan, mendesak, dan menghancurkannya.
  2. Menguatkan hati, badan, menjadi cahaya bagi hati, dan sebab datangnya rizki.
  3. Menumbuhkan cinta dan menyegarkan jiwa pelakunya. Menumbuhkan rasa cinta yang itu merupakan ruh bagi Islam, gerigi bagi agama, poros kebahagiaan dan kesuksesan.
  4. Menumbuhkan muroqobah, merasa selalu diawasi oleh Allah, sehingga seorang hamba akan mencapai derajat ihsan dalam beribadah dan merasa bahwa Allah senantiasa melihatnya dalam segala yang dilakukannya. Memupuk sifat al inabah (kembali pada Allah) dan kedekatan dengan-Nya, sehingga setiap kali berdzikir ia akan semakin merasa dekat dengan-Nya.
  5. Allah akan mengingat dirinya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya (pasti) Aku akan mengingat kalian” (QS. Al Baqarah : 152).
  6. Menghidupkan hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permisalan dzikir bagi hati adalah bagaikan air dengan ikan. Bagaimana jika ikan itu berpisah dengan air? Ia tentu akan sekarat dan mati, maka seperti itu pulalah hati (jika tidak berdzikir –pent)”.
  7. Membersihkan “karat” di dalam hati. Setiap benda akan berkarat dan karatnya hati ialah al ghaflah (kelalaian) dan al hawa (hawa nafsu). Semua itu akan hilang dengan sebab dzikir, taubat, dan istighfar.
  8. Dzikir juga akan menghapuskan kesalahan dan dosa, karena ia merupakan kebaikan yang paling agung. Setiap kebaikan akan menghapuskan keburukan dan dosa. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)
  9. Sebab diturunkannya rahmat dan sakinah (ketenangan) dari Allah. “Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah. Mereka membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya diantara mereka. Melainkan ketenangan akan turun kepada mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, malaikat akan menaungi mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut nama mereka di tengah makhluk yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim)
  10. Sebab tersibukkannya lisan dari ghibah, namimah, perkataan dusta, keji, dan kebatilan. Barangsiapa yang menghiasi lisannya dengan dzikrullah, Allah akan membentenginya dari kebatilan, yaitu dari beratnya akibat dosa perkataan. Sebaliknya, barangsiapa yang lisannya kering dari dzikir, ia akan membasahinya dengan kebatilan, laa haula wa laa quwwata illa billah.
  11. Dzikir merupakan tumbuhan surga. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa yg membaca: Subhaanallaahil ‘azhiimi wabihamdih maka ditanam untuknya sebatang pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
  12. Merutinkan berdzikir kepada Allah akan menjaga diri dari melupakan Allah ‘Azza wa Jalla. Melupakan Allah adalah sebab penderitaan hamba, dalam kehidupan dunia maupun  di akhirat. Melupakan Allah akan membuatnya lupa terhadap diri dan kemaslahatan dirinya sendiri. “Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr : 19)
  13. Dzikir akan mendekatkan pelakunya dengan Dzat yang ia sebut-sebut dalam dzikirnya. Allah akan senantiasa bersamanya. Kebersamaan (al ma’iyah) yang dimaksud ialah kebersamaan dalam cinta, pembelaan, pertolongan, dan taufik (bukan secara Dzat –pen). “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl : 142) “Janganlah bersedih, sungguh Allah bersama kita” (QS. At Taubah : 40). Sebagaimana pula dalam hadits qudsi, “Aku senantiasa bersama hamba-Ku selama ia berdzikir kepada-Ku, dan menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani).
  14. Dzikir merupakan obat hati yang keras. Seseorang berkata kepada Hasan Al Bashri, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Jawab beliau, “Lembutkanlah ia dengan dzikir”. Berkata pula Mak-hul, “Mengingat Allah merupakan obat, sementara mengingat manusia adalah penyakit”.
  15. Dzikir merupakan sebab Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas ahli dzikir. “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab : 41-43)
  16. Allah membanggakan orang-orang yang berdzikir di hadapan para malaikat-Nya, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian shahabat yang tengah berdzikir, “Apa yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk mengingat Allah ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada kami sehingga kami bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Demi Allah, apakah kalian tidak ada alasan lain bagi kalian yang membuat kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak ada niat kami selain itu.” Beliau pun bersabda, “Adapun aku, sesungguhnya aku sama sekali tidak memiliki persangkaan buruk kepada kalian dengan pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang kepadaku kemudian dia mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)
  17. Dzikir adalah salah satu tujuan pensyariatan amal-amal ibadah. “Dan tegakkanlah shalat untuk berdzikir kepada-Ku.” (QS. Thaha : 14). Ibnu Abbas ditanya, “Amal apa yang paling agung?” Beliau menjawab, “Berdzikir kepada Allah itulah yang terbesar.”
  18. Merutinkan dzikir dapat mengganti sebagian keutamaan ibadah lain. Suatu ketika para shahabat yang fakir dari kalangan Muhajirin mengadukan kondisi mereka yang kesulitan dalam menandingi ibadah orang-orang kaya seperti haji, umrah, dan jihad. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Baiklah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak 33 kali.” (HR. Muslim)
  19. Banyak berdzikir membebaskan diri dari kemunafikan. “Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik –pent) berdzikir mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisaa’ : 142). Ka’ab berkata, “Barangsiapa yang banyak berdzikir niscaya dia akan terbebas dari kemunafikan”.
  20. Dzikir lebih utama daripada do’a. Karena dzikir merupakan pujian bagi Allah Ta’ala, sedangkan do’a ialah permintaan. Tambahan dari penulis: Ibnu Katsir berkata, “Allah memberi karunia-Nya kepada ahli dzikir, lebih banyak dari yang ia beri kepada ahli do’a.” Hal itu berdasarkan firmannya, “Berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian” (QS. Al Baqarah ayat 152).”
Demikian, semoga Allah memberikan kita semua taufik untuk menjadi ahli dzikir. [Yhouga Pratama, S.T. Salah seorang alumni Ma'had al-'Ilmi Yogyakarta]
Referensi: Syarh Hishnul Muslim min Adzkar Al Kitab wa As Sunnah, Majdi bin Abdul Wahhab Al Ahmad (hal. 9-19)

Jumat, 26 April 2013

LAFAL SHADAQALLAHUL-'ADZIM

lafal shadaqa Allahul ‘Adzim, walau bukan persoalan baru namun masih ada saja yang bertanya tentangnya dalam mengakhir pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagi sebagian orang, persoalan ini dianggap sangat penting sehingga pantas untuk didiskusikan panjang lebar. Apakah termasuk ibadah atau bid’ah, berdosa atau tidak bila melaksanakannya.

Lafal Shadaqallahul- 'adzim mempunyai makna "telah benarlah Allah yang Maha Agung". Memang tidak dapat ditemukan adanya ayat Al-Qur'an atau Hadits yang menerangkan secara eksplisit (sharih) praktik atau perintah Nabi Muhammad saw untuk mengucapkan lafal tertentu sesudah membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an hanya mengajarkan bahwa sebelum membacanya kita terlebih dahulu harus mengucapkan lafal ta'awudz. Dalam suratAn-Nahl ayat 98, Allah berfirman;


فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم


Artinya: "Apabila kamu membacaAl Qur'an, hendaklah kamu meminta perlin-dungan kepada Allah dari setan yang terkutuk".(Qs.an-Nahl[16]:98)

Meskipun tidak ditemukan dalam sumber naqli, praktek yang berlaku umum di tengah masyarakat adalah mengucapkan lafal "shadaqallahul-'azhim" setiap mengakhiri membaca Al-Qur’an. Dalam penelusuran kami, sesungguhnya penggunaan lafal tersebut bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Para mufasir dalam beberapa kesempatan setelah menerangkan tafsir sua­tu ayat, terkadang menimpali tafsirannya dengan ucapan "shadaqallahul-'azhim". Sebagai contoh adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurtubi dalam al-Jami'liAhkamil-Qur'an} Ibnu Ajibah da­lam Tafsir Ibnu Ajibah, asy-Syanqithi da­lam Adlwahul-Bayan dan Sayid Qutb dalam Fi Zhilalil-Qur'an. Menurut hemat kami, lafal ini digunakan sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan (al-Qurtubi: I/27) dan penegasan (afirmasi) komitmen seorang Muslim akan kebenaran berita dan kandungan Al-Qur'an yang difirmankan Allah SwT.

Dalil implisit (ghairu sharih) yang umumnya dijadikan sandaran untuk ba-caan ini adalah Al-Qur'an surat Ali Imran ayat: 95 :

قل صدق الله فاتبعوا ملة إبراهيم حنيفا وما كان من المشركين

Artinya: "Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik." (Qs. Ali Imran [3]: 95)

Ayat ini jika dilihat dari konteksnya me­mang berbicara tentang Bani Israil. Melalui ayat tesebut, Nabi Muhammad saw di-perintahkan oleh Allah SwT untuk menegaskan kepada Bani Israil bahwa Al-Qur'an adalah benar (akurat) tentang kisah-kisah yang ia bawa mengenai Bani Israil di masa lalu. Namun, ber-istidlal (mengambil dalil) dari ayat ini bukannya sama sekali tidak dibenarkan. Dalam hukum tajwid dibolehkan membaca ayat ini dengan berhenti setelah lafal "Allah", atau bisa disebut waqf jaiz (tempat yang dibolehkan berhenti). Jika kita berhenti di sini, maka ayat ini dapat melahirkan makna yang independen dari ayat sebelumnya dan lafal sesudahnya. Sehingga makna umumnya adalah ucapan "shadaqallahu" tidak mesti diucapkan hanya di depan Bani Israil yang meragukan kebenaran Al-Qur'an, melainkan dapat dibaca kapanpun jika ia dibutuhkan. Adapun penambahan lafal 'al-'adzim' dalam shadaqallahul-'adzim adalah sebagai bentuk ta'dzim (pengagungan) terhadap Allah SwT.

Berangkat dari keterangan di atas, ma­ka pendapat yang dapat kita pegang adalah lafal "shadaqallahul-'adzim" boleh diucap­kan kapan pun, terutama setelah mendengar informasi yang berhubungan dengan kebenaran informasi yang dibawa Al-Qur'an. Demikian juga pengucapannya setelah membaca Al-Qur'an. la dapat diterima dan bukan merupakan bid'ah (meng-ada-ada) dalam urusan agama. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini adalah pelafalan kalimat tersebut tidak boleh diiringi de­ngan keyakinan bahwa ia adalah Sunnah Nabi saw yang diajarkan secara khusus, apalagi menganggapnya sebagai kewa­jiban agama. Sehingga, orang yang meng-akhiri bacaan Al-Qur'an tidak harus mem­baca bacaan ini dan orang yang tidak mem­baca bacaan ini setelah membaca Al-Qur'an juga tidak menyalahi tuntunan aga­ma. Selain itu, catatan lainnya adalah hendaknya lafal ini tidak diucapkan setelah membaca ayat Al-Qur'an di dalam ibadah shalat, karena shalat adalah ibadah mahdlah yang kita hanya diperkenankan mengikuti petunjuk agama dalam pelaksanaannya.
 

1. Ucapan “Shadaqallahul Adzim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) Seusai Setiap Membaca al-Qur’an
Mengucapkan “shadaqallahul azhim” (Maha Benar Allah Yang Maha Agung) seusai setiap membaca al-Qur’an merupakan perbuatan bid’ah, karena perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maupun para al-Khulafa’ur Rasyidun atau para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Juga tidak pernah dilakukan oleh para imam-imam salaf padahal mereka sangat sering membaca al-Qur’an, sangat memperhatikannya dan mengerti tentangnya. Dengan demikian ucapan tersebut dan pengharusan bacaannya setiap kali usai membaca al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak.” [1] (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam lafazh yang diriwayatkan Muslim disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” [2][3]
Adapun apabila ucapan tersebut dilafazhkan seseorang sesekali saat mendengarkan suatu ayat atau memikirkannya kemudian ia mendapatkan suatu pengaruh yang nyata dalam dirinya, maka tidak mengapa baginya untuk mengucapkan “Mahabenar Allah Yang Mahaagung, telah terjadi begini dan begitu”. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:"Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 3:95)
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah.” (QS. 4:87)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda :
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah.” [4]
Maka boleh mengucapkan ucapan Shadaqallah dalam beberapa peristiwa yang menunjang ucapan tersebut, seperti bila melihat sesuatu yang terjadi, yang sebelumnya Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengingatkannya.
Namun apabila kita menjadikan ucapan tersebut seakan-akan termasuk hukum bacaan, maka perbuatan itu tidak ada dasarnya dan mengharuskannya termasuk bid’ah. Yang ada dasarnya dalam hukum bacaan adalah memulai membaca dengan mengucapkan isti’adzah (doa mohon perlindungan), sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa ta'ala :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. 16:98).
Rasulullah mengucapkan doa perlindungan dari setan saat memulai membaca al-Qur’an dan membaca basmalah setiap awal surat selain surat Bara’ah (at-Taubah). Adapun seusai membaca al-Qur’an, tidak ada pengharusan untuk mengucapkan dzikir khusus atau ucapan “shadaqallah”, atau lainnya. [5]
 

Minggu, 07 April 2013

Penyesalan di akhirat bagi mereka yang lalai berdzikir sewaktu di dunia

Penyesalan di akhirat bagi mereka yang lalai berdzikir sewaktu di dunia
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلاَّ تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu waktu pun yang terluputkan dari anak Adam untuk berzikir kepada Allah kecuali ia akan menyesali waktu tersebut pada hari kiamat.”
(Hasan; HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 508, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/362, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5720; kutip dari artikel asy-syari’ah)
Beliau juga bersabda:
مَا مِنْ قَوْمٍ، يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ، لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً.
‘Tidaklah suatu kaum berdiri meninggalkan suatu majelis tanpa berdzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka berdiri dari semisal bangkai keledai, dan mereka mendapatkan suatu penyesalan’.”
(dishahiihkan syaikh al Albaaniy dalam ash Shahiihah)
Beliau juga bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ، كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ.
“Siapa saja yang menduduki suatu tempat duduk tanpa berdzikir kepada Allah, niscaya dia mendapatkan kerugian dari Allah, dan siapa saja yang tidur terlentang di tempat tidur, tanpa berdzikir kepada Allah niscaya dia mendapatkan kerugian dari Allah.”
(Hasan; HR Abu Dawud)
Beliau juga bersabda:
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ سبحانه و تعالى فِيْهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ فِيْهِ، إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ.
“Tidaklah suatu kaum duduk dalam suatu majelis sedang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya serta tidak bershalawat kepada Nabi mereka, melainkan mereka akan mendapatkan penyesalan (dari Allah), jika Dia berkehendak niscaya Dia mengazab mereka, dan jika Dia berkehendak niscaya Dia mengampuni mereka.”
(shahiih li ghayrihi; lihat shahiih at targhiib)
Semoga bermanfaat

Bagaimana Rasulullah mengisi waktunya ketika beliau duduk

Bagaimana Rasulullah mengisi waktunya ketika beliau duduk?
dari Ibnu ‘Umar, ia berkata; Dalam satu kali duduk Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam, sebelum beliau berdiri (meninggalkan tempat duduknya), terhitung seratus kali beliau mengucapkan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ
“RABBIGHFIRLII WA TUB ‘ALAYYA INNAKA ANTAT TAWWAABUL GHAFUUR”
(Wahai Rabbku, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi taubat dan Maha Pengampun).
(HR. at Tirmidziy; beliau berkata; Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib; hadits ini dishahiihkan oleh Syaikh al Albaaniy)
Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Maajah, Abu Dawud, dan selainnya disebutkan:
“Apabila kami menghitung ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam duduknya:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Rabbighfirli watub ‘alayya innaka anta tawwabur rahim
(Ya Rabbku ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkaulah Maha penerima taubat dan maha penyayang)
(maka kami mendapati bahwa) beliau mengucapkannya sebanyak seratus kali.”
(HR. Ahmad, Ibnu Maajah, Abu Dawud, dll; dishahiihkan oleh Syaikh al Albaaniy)
benarlah firman Allah tentang beliau:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia BANYAK BERDZIKIR kepada Allah.
(Al-Ahzaab: 21)
Maka hendaknya, kita tidak membuang waktu kita dengan sia-sia, seperti kita duduk di mobil, atau duduk di ruang tunggu; tidak kita isi, melainkan dengan sesuatu yang bermanfaat, yang lebih baik lagi kita mengisinya dengan beristighfar, karena Rasulullah bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Beruntunglah bagi orang yang mendapatkan didalam catatan amalnya istighfar yang banyak.”
(Shahiih, HR. Ibnu Maajah; dishahiihkan syaikh al albaaniy dalam shahiih ibnu maajah)

Minggu, 31 Maret 2013

Amalan Shalih, Untuk Siapa



Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman,
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
Barangsiapa melakukan amal salih maka demi kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang melakukan keburukan maka hal itu akan merugikan dirinya sendiri. Dan tidaklah Rabbmu berbuat zalim kepada hamba.” (QS. Fushshilat: 46)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya; barangsiapa yang melakukan suatu amal salih maka sesungguhnya kemanfaatan amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Karena sesungguhnya Allah maha kaya sehingga tidak membutuhkan perbuatan hamba. Meskipun mereka semuanya berada dalam keadaan sebagaimana orang yang hatinya paling bertakwa, maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa terhadap keagungan kerajaan-Nya barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka hanya saja [manfaat] hal itu [juga] demi kepentingan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya sehingga tidak membutuhkan alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)
Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga sedangkan Allah belum mengetahui [melihat] siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh diantara kalian dan  untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142)
Dengan ujian inilah akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui [membuktikan] siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. al-’Ankabut: 3)
Oleh sebab itu semestinya setiap hamba yang takut akan perjumpaan dirinya dengan Allah dalam keadaan hina untuk mengisi waktunya dengan amal salih dan nilai-nilai keimanan serta menghadapi berbagai fitnah dengan kesabaran. Allah ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Barangsiapa yang berharap bertemu dengan Allah, maka sesungguhnya ketetapan ajal dari Allah itu pasti datang, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-’Ankabut: 5)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, “Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa maksud ayat ini adalah; barangsiapa yang merasa takut akan kematian hendaklah dia melakukan amal salih karena sesungguhnya kematian itu pasti akan mendatanginya.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [16/338-339])
Kematian tidak bisa dielakkan. Tidak ada yang bisa berlari untuk menghindar darinya. Oleh sebab itu -wahai saudaraku- membekali diri untuk menyambutnya adalah sebuah keniscayaan. Allah ta’ala telah menegaskan,
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, sesungguhnya ia pasti datang menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara yang gaib dan yang tampak, lalu Allah akan mengabarkan kepada kalian dengan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)
Membekali diri dengan keimanan, meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, dan berjuang di jalan Allah. Membekali diri dengan sabar dan syukur. Membekali diri dengan tauhid dan amal salih. Membekali diri dengan pundi-pundi ketakwaan. Inilah jalan orang-orang yang merindukan rahmat dan ampunan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)
Dikisahkan, bahwa suatu hari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu melihat seorang lelaki ketika menghadiri jenazah. Lelaki itu berkata, “Jenazah siapakah ini?”. Maka Abud Darda’ berkata, “Inilah dirimu, inilah dirimu. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya engkau pasti mati dan mereka pun pasti akan mati.” (QS. Az-Zumar: 30) (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i karya Abdul Malik al-Qasim, hal. 110)
Dikisahkan bahwa Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah menangis sejadi-jadinya menjelang kematiannya. Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau mengangkat pandangan matanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintah dan melarang kepadaku lalu aku justru berbuat durhaka. Jika Engkau mengampuni [diriku] sungguh Engkau telah memberikan anugerah [kepadaku]. Dan apabila Engkau menghukum [aku], sungguh Engkau tidak melakukan kezaliman [kepadaku].” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)
Allah ta’ala berfirman,
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian [keangkuhan] di atas muka bumi dan berbuat kerusakan. Dan sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Masuk ke alam dunia ini adalah sesuatu yang ringan/mudah. Akan tetapi keluar darinya -dengan sukses dan selamat, pent- adalah sesuatu yang berat/tidak sederhana.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 94)
Abud Darda radhiyallahu’anhu berkata, “Jika disebut nama-nama orang yang sudah mati maka anggaplah keadaan dirimu seperti halnya salah satu diantara mereka.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, hal. 68)
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kesudahan yang baik di alam dunia ini dan menjadikan kita sebagai penghuni surga-Nya. Allahul musta’aan.


Ngalap Berkah Yang Dibolehkan Dan Terlarang Dari artikel 'Ngalap Berkah Yang Dibolehkan Dan Terlarang



Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu. Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”.
Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya. Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”. Lihat Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala Muhammad Khoiril Anam karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 308.
Ngalap berkah kepada makhluk yang terlarang ada dua macam:
Macam pertama: Termasuk Syirik Akbar
Tabarruk pada makhluk seperti pada kubur, pohon, batu, manusia yang masih hidup atau telah mati, di mana orang yang bertabarruk ingin mendapatkan barokah dari makhluk tersebut (bukan dari Allah), atau jika bertabarruk dengan makhluk tersebut dapat mendekatkan dirinya pada Allah Ta’ala, atau ingin mendapatkan syafa’at dari makhluk tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu, maka seperti ini termasuk syirik akbar (syirik besar). Karena kelakukan semacam ini adalah sejenis dengan perbuatan orang musyrik pada berhala atau sesembahan mereka.
Macam kedua: Termasuk Bid’ah
Tabarruk kepada makhluk dengan keyakinan bahwa tabarruk pada makhluk tersebut akan berbuahkan pahala karena telah mendekatkan pada Allah, namun keyakinannya bukanlah makhluk tersebut yang mendatangkan manfaat atau bahaya. Hal ini seperti tabarruk yang dilakukan orang jahil dengan mengusap-usap kain ka’bah, dengan menyentuh dinding ka’bah, dengan menyentuh maqom Ibrahim dan hujroh nabawiyah, atau dengan menyentuh tiang masjidi harom dan masjid nabawi; ini semua dilakukan dalam rangka meraih berkah dari Allah, tabarruk semacam ini adalah tabarruk yang bid’ah (tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam) dan termasuk wasilah (perantara) pada syirik akbar kecuali jika ada dalil khusus akan hal itu.
Pelajaran dari pohon Dzatu Anwath
عَنْ أَبِى وَاقِدٍ اللَّيْثِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا خَرَجَ إِلَى خَيْبَرَ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى (اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ) وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ »
Dahulu kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Khoibar. Lalu, beliau melewati pohon orang musyrik yang dinamakan Dzatu Anwath. Mereka menggantungkan senjata mereka. Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Subhanallah! Sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Musa: Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.” (QS. Al A’raaf: 138). Kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Hadits ini dikatakan shahih oleh Al Hafizh Abu Thohir Zubair ‘Ali Zaiy)
Syaikh Sulaiman At Tamimi dalam Taisir Al ‘Azizil Hamid (1: 407) berkata, “Jika menggantungkan senjata di pohon, lalu bersemedi (i’tikaf) di sampingnya, serta menjadikan sekutu bagi Allah, walau tidak sampai menyembahnya atau tidak pula memintanya, (dinilai keliru), maka bagaimana lagi jika ada yang sampai berdo’a pada orang yang telah mati seperti yang dilakukan oleh para pengagum kubur wali, atau ada yang sampai beristighotsah padanya, atau dengan melakukan sembelihan, nadzar atau melakukan thowaf pada kubur?!”
Beberapa bentuk ngalap berkah yang terlarang
1- Ngalap berkah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat
Di antara yang terlarang adalah tabaruk dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai rasul, berdo’alah kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa mengabulkannya. (Lihat At Tabaruk, hal. 325.)
Juga yang termasuk keliru adalah mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengambil berkah dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap atau mencium kubur tersebut.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 79).
Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”. (Ihya’ ‘Ulumuddin, 1: 282).
2- Tabarruk dengan orang sholih setelah wafatnya
Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan tabarruk dengan kubur beliau dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih, kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut dengan do’a “wahai pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”, “wahai Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah terjatuh pada kesyirikan.
Begitu pula yang keliru, jika tabarruk tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk berdo’a kepada Allah agar mendo’akan dirinya.
3- Tabarruk dengan pohon, batu dan benda lainnya.
Ngalap berkah dengan benda-benda semacam ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang tercela dan sebab  terjadinya kesyirikan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun pohon, bebatuan dan benda lainnya … yang dijadikan tabarruk atau diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah perkara bid’ah yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 27: 136-137)
Perbuatan-perbuatan di atas adalah termasuk perbuatan ghuluw (berlebihan) terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk yang benar.
Beberapa bentuk ngalap berkah yang dibolehkan
1- Keberkahan orang sholih
Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123). Ibnu ‘Abbas menjelaskan keutamaan orang yang mengikuti petunjuk Allah,
لا يضل في الدنيا، ولا يشقى في الآخرة
“Ia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat”. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9: 376-377.
Keberkahan orang sholih pun terdapat pada usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”. (HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2- Keberkahan lewat jujur dalam jual beli
Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”. (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)
3- Keberkahan karena tidak tamak pada harta
Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472). Yang dimaksud dengan kedermawanan dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang. (Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani, 3: 336.)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, Asy Syamilah, 6: 48)
4- Keberkahan dari berpagi-pagi dalam mencari rezeki
Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta. (HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
5- Keberkahan lewat air zam-zam
Dalam sebuah hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang mengenyangkan.” (HR. Muslim no. 4520)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
Air zam-zam sesuai keinginan ketika meminumnya.” (HR. Ibnu Majah no. 3062 dan Ahmad 3: 357).
Dan masih banyak contoh lainnya. Namun yang terpenting dalam meraih keberkahan adalah dengan iman dan takwa. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96). Dari sini menunjukkan bahwa jika ada yang mengambil berkah dengan kemaksiatan, seperti melakukan ritual zina yang dilakukan di tempat pesugihan Gunung Kemukus atau memenuhi ritual zina ala alam ghaib, maka ini adalah sesuatu kesesatan. Apalagi yang dicontoh adalah pelaku dosa.
Demikian sedikit ulasan dari kami mengenai beberapa penyimpangan dalam ngalap berkah dan beberapa bentuk yang dibolehkan. Moga kaum muslimin semakin mendapat pencerahan. Moga Allah pun beri hidayah.


Sabtu, 30 Maret 2013

Innamal A’malu Bin Niyat



Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan : Aku mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907]).
Faedah hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkantidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar].Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Macam-macam niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2).
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan,“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullahberkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, ”Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, ”Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, ”Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan,”Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, ”Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ”Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)