Berbicara
mengenai "waktu" mengingatkan penulis kepada ungkapan Malik
Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat
Kebangkitan) -Edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan
dengan judul Membangun Dunia Baru Islam (1994)- saat ia memulai
uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama
sebagai hadis Nabi Saw.:
Tidak
terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. "Putra-putri Adam, aku
waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena
aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat."
Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:
Waktu
adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala,
melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau
meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia
sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun
segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu melepaskan diri
darinya.
Sedemikian
besar peranan waktu, sehingga Allah Swt. berkali-kali
bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada
waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
Dalam
Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata
"waktu": (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang,
dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan
sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat
terjadinya sesuatu.
Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:
a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat.
Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)
Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:
Dia
berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dan kedua
waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan
tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita
ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).
b. Dahr
digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam
kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam
sementara ini.
Bukankah
telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu)
sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut
(karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).
Dan
mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia,
kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan)
kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24).
c. Waqt
digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk
menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu, sering kali Al-Quran
menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa.
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .
d. 'Ashr,
kata ini biasa diartikan "waktu menjelang terbenammya
matahari", tetapi juga dapat diartikan sebagai "masa" secara mutlak.
Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa 'ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata 'ashr
sendiri bermakna "perasan", seakan-akan masa harus digunakan oleh
manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya
dilakukan kapan saja sepanjang masa.
Dari
kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan
Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa indonesia),
yaitu:
a.
Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu
berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah
Swt. sendiri.
b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).
c. Kata waqt
digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas
akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin
dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya
pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam,
hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan
untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya
membiarkannya berlalu hampa.
d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.
Demikianlah
arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta penggunaan
kata yang berarti "waktu" dalam berbagai makna.
RELATIVITAS WAKTU
Manusia
tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka
mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang
waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran
kita tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari
segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya)
maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai
terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam
berikutnya.
Perhitungan
semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus
digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh
Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat
At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga memperkenalkan adanya
relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan,
maupun pelaku.
Waktu
yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya
kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat
berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
Dan
berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal
di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau
setengah hari ..."
Ashhabul-Kahfi
yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa
mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang,
Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).
Ini
karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga
walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang
waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.
Allah
Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran
ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past tense/madhi) yang
digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah Swt.
berfirman:
Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ... (QS Al-Nahl [16]: 1).
Bentuk
kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai
makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang.
Tetapi di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat,
mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan
kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah akan sirna, jika disadari
bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu,
kini, dan masa yang akan datang sama saja. Dari sini dan dari
sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya
relativitas waktu.
Ketika
Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat
menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran menyatakan
perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh
ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (men~hadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS Al-Ma'arij [70]: 4).
Sedangkan
dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para
malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut
perhitungan manusia:
Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik
kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu (QS Al-Sajdah [32]: 5).
Ini
berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu
pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing
membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama.
Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa
ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang
dikehendakinya. Sesuatu itu adalah Allah Swt.
Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).
"Kejapan
mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian
dimensi manusia, karena Allah berada di luar dimensi tersebut, dan
karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)
Ini
pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan
kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi
seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin
menyebutkan bahwa Allah Swt. berada di luar
dimensi ruang dan waktu.
Dari
sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara
mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. "Allah menciptakan alam
raya selama enam hari", tidak harus dipahami sebagai enam kali dua
puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata "tahun" dalam Al-Quran tidak
berarti 365 hari --walaupun kata yaum dalam Al-Quran yang berarti
hari hanya terulang 365 kali-- karena umat manusia berbeda dalam
menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena
penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena
umat manusia mengenal pula perhitungan yang lain. Sebagian ulama
menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s.
hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29: 14), tidak
harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah atau Qamariah.
Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan
musim (panas, dingin, gugur, dan semi) sehingga setahun
perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama
dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat
diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh
jadi hanya sekitar 230 tahun.
Al-Quran
mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah melalui
ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashhabul-Kahfi) tertidur.
Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS Al-Kahf [18]: 25).
Tiga
ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan
penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan
Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari
setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih
sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau
sama dengan sembilan tahun.
TUJUAN KEHADIRAN WAKTU
Ketika
beberapa orang sahabat Nabi Saw. mengamati keadaan bulan yang
sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali
menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi,
"Mengapa demikian?" Al-Quran pun menjawab,
Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]:189).
Ayat
ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan
yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari
bulan sabit ke purnama), harus dapat dimanfaatkan oleh
manusia untuk menyelesaikan suatu tugas
(lihat
kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas). Salah satu
tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini
dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan
seluruh rukun islam.
Keadaan
bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia
di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya,
sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian
ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar
sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi
sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
Dia
(Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu
(kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran)
atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
Mengingat
berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan
kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga
mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan.
Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah "menggunakan segala
potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan
penganugerahannya," dan ini menuntut upaya dan kerja keras.
Banyak
ayat Al-Quran yang berbicara tentang
peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan
pernyataan. "Maka ambillah pelajaran dan peristiwa itu." Demikian
pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa
depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya
demi masa depan.
Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]:18).
Menarik
untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah
bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan
bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan
hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah
ketakwaan.
Hari
esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas
pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk
juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami.
Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan
dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas
digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat
mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.
MENGISI WAKTU
Al-Quran
memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal
mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh 'ashr
(waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang
dimilikinya. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal ini,
perlu digarisbawahi bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa
waktu hendaknya diisi dengan beribadah (dalam pengertian sempit).
Mereka merujuk kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat
56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lam (li) pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam bahasa Al-Quran, lam
tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti
kesudahannya atau akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat
Al-Qashash ayat 8 yang menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh
keluarga Fir'aun.
Maka
dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh
dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]: 8).
Kalau lam pada
ayat di atas diterjemahkan "agar", maka ayat tersebut akan
berarti, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keiuarga Fir'aun 'agar'
ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka." Kalimat ini jelas
tidak logis, tetapi jika lam dipahami sebagai akibat atau
kesudahan, maka terjemahan di atas akan berbunyi, "Maka dipungutlah
ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun, dan kesudahannya adalah ia
menjadi musuh bagi mereka."
Kembali
kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa Al-Quran
menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi
ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu,
Al-Quran memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah
menyelesaikan ibadah ritual.
Apabila
telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum'ah [62]: 10).
Dari
sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara tegas orang-orang
yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti
kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting seperti
sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara
wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan
tujuan berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah
bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah
permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara
kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
Kerja
atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam
bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk ini oleh pakar-pakar
bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang
dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya
firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 195.
Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
Al-Quran
tidak hanya memerintahkan orang-orang Muslim untuk bekerja, tetapi
juga kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am ayat 135 dinyatakan,
Hai
kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan (dan sesuai
kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui
siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia/akhirat.
Bahkan
Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja
dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran tidak memberi peluang
kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja
sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat
Al-'Ashr dan dua ayat terakhir dari surat Alam Nasyrah menguraikan
secara gamblang mengenai tuntunan di atas.
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan,
... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6).
Maksudnya,
sesungguhnya bersama satu kesulitan yang sama terdapat dua
kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi ayat
di atas. Terlihat bahwa kata al-ushr terulang dua kali dan keduanya dalam bentuk definitif
(ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al),
sedangkan kata yusra juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk
indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah
kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan terdapat
dua kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya
bermakna sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia
berbeda.
Setelah
berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk kepada umat
manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan
walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan
menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS 94: 7).
Kata faraghta terambil dan kata faragha
yang ditemukan dalam Al-Quran sebanyak enam kali dengan
berbagai bentuk derivasinya. Dari segi bahasa, kata tersebut
berarti kosong setelah sebelumnya penuh, baik secara material
maupun imaterial. Seperti gelas yang tadinya dipenuhi, oleh air,
kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas itu menjadi kosong.
Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan dan kesedihan,
kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata ini. Perlu
digarisbawahi bahwa kata faragh tidak digunakan selain
pada kokosongan yang didahului oleh kepenuhan, maupun keluangan
yang didahului oleh kesibukan.
Dari
sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya
sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi
waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan
tersebut, maka jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan
dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragh.
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang dimaksud dengan fan-shab. Kata fan-shab
antara lain berarti berat, atau letih. Kata ini pada mulanya berarti
menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung.
Allah Swt. berfirman,
Apakah
mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan, dan kepada langit
bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana ditegakkan sehingga
menjadi nyata (QS 88: 17-19).
Kalimat terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh Al-Quran dengan kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa ilal jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata nashib
atau "nasib" yang biasa dipahami sebagai "bagian tertentu yang
diperoleh dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata,
jelas, dan sulit dielakkan".
Kini
--setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat beberapa
kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam Nasyrah di atas.
Apabila
engkau telah berada dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk),
maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau
tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi nyata.
Ayat
ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang kepada Anda
untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu Anda selesai
dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan kesibukan 1ain
yang meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib
Anda.
Nabi
Saw. menganjurkan umatnya agar meneladani Allah dalam sifat dan
sikap-Nya sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah
satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat
Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.
AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU
Jika
Anda bertanya, "Apakah akibat yang akan terjadi kalau
menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah
ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.
Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr
(Demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang
mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang
dinamai masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh
adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang
berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena
masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad 'Abduh menjelaskan
sebab turunnya surat ini.
Allah
bersumpah dengan 'ashr, yang arti harfiahnya adalah "memeras
sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi
padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai
hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil
yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh"
(dan seterusnya sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
Kerugian
tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan,
yakni paling tidak akan disadari pada waktu 'ashr kehidupan
menjelang hayat terbenam. Bukankah 'ashr adalah waktu ketika
matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga
Allah mengaitkan kerugian manusia dengan kata 'ashr untuk
menunjuk "waktu secara umum", sekaligus untuk mengisyaratkan
bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian.
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian).
Kata khusr
mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah,
dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang
tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas
berbentuk indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga
dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin.
Bentuk indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti
"keragaman dan kebesaran", sehingga kata khusr harus dipahami
sebagai kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
Kata fi biasanya
diterjemahkan dengan di dalam bahasa indonesia. Jika misalnya
Anda berkata, "Baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang Anda
maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada
di dalam saku. Yang tercerap dalam benak ketika itu adalah bahwa
baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya
telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam saku
sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.
Itulah
juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam
kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah
tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia
berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan
usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi
beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita
perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi masa", dan mencari
kaitannya dengan ayat kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam
kerugian".
Masa
adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan,
waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu begitu saja,
jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali
bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
"Rezeki
yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih
banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin
kembali esok."
Jika
demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang
bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal
yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah
terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan
sekian banyak hadis Nabi Saw. yang memperingatkan manusia agar
mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana
sabda Nabi Saw
Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) .
BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?
Tidak
pelak lagi bahwa waktu harus diisi dengan berbagai aktivitas
positif. Dalam surat Al-'Ashr disebutkan empat hal yang dapat
menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan besar dan
beraneka ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang beramal saleh, (c)
yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan (d) yang saling berwasiat
dengan kesabaran. Sebenarnya keempat hal ini telah dicakup oleh
kata "amal", namun dirinci sedemikian rupa untuk memperjelas
dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak
terjangkau oleh kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) .
Iman
--dari segi bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian
pakar yang mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal
yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup --kata
mereka-- karena yang penting adalah pembenaran hati.
Peringkat
iman dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan lainnya,
bahkan dapat berbeda antara satu saat dengan saat lainnya pada diri
seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya.
Nah,
upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan iman merupakan hal
yang amat ditekankan. Iman inilah yang amat berpengaruh pada hal
diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah Swt.
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,
Kami
menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu
kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu yang beterbangan.
Ini
disebahkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman.
Demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan "undang-undang Ilahi"
Di
atas dikatakan bahwa tiga butir yang disebut dalam surat ini pada
hakikatnya merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya
disebut secara eksplisit untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan
tersebut antara lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan
diterima oleh Allah Swt.
Dapat
juga dinyatakan ada dua macam ajaran agama, yaitu pengetahuan
dan pengamalan. Iman (akidah) merupakan sisi pengetahuan, sedangkan
syariat merupakan sisi pengamalan. Atas dasar inilah ulama memahami
makna alladzina amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini
sebagai "orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang
kebenaran". Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang Allah dan
ajaran-ajaran agama yang bersumber dari-Nya. Jika demikian,
sifat pertama yang dapat menyelamathan seseorang dari kerugian
adalah iman atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus
diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat
dirinya, padahal ada empat hal yang disebutkan surat Al-'Ashr yang
menghindarkan manusia dari kerugian total.
MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA
Hal kedua yang disebutkan dalam surat Al-'Ashr adalah 'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal (pekerjaan) digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.
Kiranya
menarik untuk mengemukakan pendapat beberapa pakar bahasa yang
menyatakan bahwa kata 'amal dalam Al-Quran tidak semuanya mengandung
arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan
sesuatu yang baik --kata mereka-- juga dinamai 'amal. Rasul Saw. menilai bahwa niat baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud surat Al-Zalzalah ayat 7:
Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya.
Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat daya yang dimilikinya:
1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.
2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan
sunnatullah
3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral,
estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran
ilahi.
4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan menyesuaikan
diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".
Kata shalih terambil dari akar kata shaluha yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Quran dijelaskan maknanya sebagai antonim (lawan) kata fasid (rusak). Dengan demikian kata "saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan. Shalih
juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah
pekerjaan yang apabila dilakukan tidak menyebabkan dan
mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila pekerjaan tersebut
dilakukan akan diperoleh manfaat dan kesesuaian.
Secara
keseluruhan kata shaluha dalam berbagai bentuknya terulang dalam
Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata
tersebut ada yang dibentuk sehingga membutuhkan objek (transitif),
dan ada pula yang tidak membutuhkan objek (intransitif).
Bentuk pertama menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita.
Bentuk ini memberi kesan bahwa objek tersebut mengandung
kerusakan dan ketidaksesuaian sehingga pekerjaan yang dilakukan
akan menjadikan objek tadi sesuai atau tidak rusak. Sedangkan
bentuk kedua menunjukkan terpenuhinya nilai manfaat dan
kesesuaian pekerjaan yang dilakukan. Usaha menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu maupun menyingkirkan madharrat
yang ada padanya dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian serta manfaat yang terdapat pada sesuatu dinamai shalah.
Apakah
tolok ukur pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan ketidakrusakan
itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama pun berbeda
pendapat. Syaikh Muhammad 'Abduh, misalnya, mendefinisikan amal
saleh sebagai, "segala perbuatan yang berguna bagi pribadi,
keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
Apabila
seseorang telah mampu melakukan amal saleh yang disertai iman, ia
telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk
membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus
diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal di atas baru
membebaskan manusia dari setengah kerugian karena ia masih harus
melaksanakan dua hal lagi agar benar-benar selamat, beruntung, serta
terjauh dari segala kerugian.
Yang ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr
(saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya bukan di
sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat
dikemukakan hanyalah bahwa al-haq diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui pencarian ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta kemampuan menahan rayuan nafsu demi mencapai yang terbaik.
Surat
Al-'Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya
mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal
saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan
ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau
tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan
ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya
dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu
menerima nasihat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan
meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
Demikian
terlihat bahwa amal atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan
sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum, atau rekreasi, tetapi
kerja beraneka ragam sesuai dengan keragaman daya manusia. Dalam
hal ini Rasulullah Saw. mengingatkan:
Yang
berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban
mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat
(berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi.
Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula
yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan
makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
Demikian
surat Al-'Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta sekaligus memberi
petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat imam Syafi'i
mengomentari surat ini:
Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka).[]