Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran”. (Al-Ashr: 1-3)
Surah ini termasuk
golongan Makkiyah yang diturunkan sesudah surah Asy-Syarh dan terdiri
dari tiga ayat. Sayyid Quthb memahami aspek i’jazul Qur’an yang
ketara pada surah pendek ini yang memang merupakan keistimewaan
Al-Qur’an. Sebagai contoh misalnya, irama surah ini menunjukkan satu
keserasian dimana pada akhir setiap ayatnya ditutup dengan huruf “ra”.
Susunan redaksinya juga indah; berawal dari yang terpendek hingga yang
terpanjang. Hanya dalam tiga ayat, tergambar dengan gamblang manhaj dan
rambu-rambu kehidupan manusia yang dikehendaki oleh Islam yang berlaku
sepanjang zaman dan pada setiap generasi. Memang hanya ada satu manhaj
dan jalan keselamatan dari kerugian seperti yang dirumuskan dalam surah
ini, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati dalam mentaati kebenaran
dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.
Surah ini diawali
dengan sumpah. Sumpah Allah dengan salah satu makhluknya yang
terpenting yang menentukan kehidupan manusia, yaitu waktu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya. Dalam satu “masa” terdapat beberapa
keadaan; sakit dan sehat, suka dan duka, demikian seterusnya saling
berpasangan. Bahkan dalam sebuah ‘waktu’ tersimpan segala jenis
peristiwa dan kejadian. Karena keagungan waktu inilah maka Allah
bersumpah dengannya. Dan memang Allah berhak bersumpah dengan apapun
yang dikehendakinya dari seluruh makhlukNya, sedangkan manusia hanya
boleh bersumpah dengan Allah dan nama-nama atau sifatNya yang mulia.
Terdapat
banyak pemahaman para ulama tentang maksud ‘Al-Ashr’ yang menjadi
sumpah Allah dalam surah ini. Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan ‘Al-Ashr’ adalah waktu petang, karena pada waktu inilah
berakhirnya segala aktifitas manusia, sehingga tinggal menghitung untung
dan rugi dari apa yang telah dilakukannya semenjak pagi hingga waktu
petang. Dalam konteks waktu, sebagian ulama menyimpulkan bahwa biasanya
Allah bersumpah dengan waktu dhuha dalam konteks keberuntungan dan
dengan waktu petang dalam konteks kerugian.
Makna lain dari kata
‘Al-Ashr’ yang masyhur adalah sholat Ashar. Shalat Ashar merupakan
sholat yang utama dan diperintahkan khusus oleh Allah untuk dipelihara
dan dijaga melalui firmanNya: “peliharalah oleh kalian shalat-shalat
kalian dan shalat wushtho, yaitu sholat Ashar”. (2: 238). Bahkan
Rasulullah bersabda mengagungkan shalat yang satu ini dalam salah satu
haditsnya: “Barangsiapa yang tertinggal shalat Ashar, maka ia
seolah-olah kehilangan keluarga dan hartanya”. Dalam riwayat lain
dinyatakan: “maka sia-sialah semua amalnya”. (Diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad). Disini Al-Biqa’i menemukan korelasi
yang indah antara lafadz ‘insan’ yang merupakan sebaik-baik jenis
makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (bentuk) dengan
lafadz “Ashr” yang merupakan waktu pilihan, ibarat minuman jus yang
dipilah dan diperas dari buah yang segar yang diistilahkan dalam bahasa
Arab ‘Ashir.
Secara redaksional, bentuk nakirah
(indifinitive) pada lafaz “khusr” menunjukkan besarnya kerugian yang
akan diderita oleh setiap manusia dan juga untuk menghinakan manusia
yang menderita kerugian tesebut, karena kerugian itu meliputi kebinasaan
diri dan usianya. Atau bentuk nakirah juga menunjukkan umumnya kerugian
tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Al-Alusi bahwa kerugian yang
disebut oleh ayat bersifat umum mencakup segala jenis kerugian; duniawi
maupun ukhrawi. Seperti kerugian dalam perniagaan, kerja-kerja manusia
maupun pemanfaatan usia yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh
Allah swt. Apalagi bahwa pernyataan Allah tentang kerugian setiap
manusia dalam ayat ini diperkuat dengan dua huruf ta’kid (penegasan),
yaitu Inna yg berarti sesungguhnya dan La yg berarti benar-benar.
Keumuman
ayat kedua dapat difahami dari lafadz ‘insan’ yang didampingi oleh alif
dan lam yang menunjukkan makna yang umum. Meskipun ada yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan ‘manusia’ pada ayat ini adalah segolongan
orang kafir seperti Al-‘Ash bin Wa’il, Al-Walid bin Al-Mughirah dan
Al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Al-Asad, namun tetap umumnya lafadz
lebih kuat daripada khususnya ayat yang terbatas pada mereka yang telah
menerima kerugian. Sehingga siapapun tanpa terkecuali tidak akan bisa
terlepas dari kerugian melainkan jika ia berpegang teguh dengan ajaran
yang terkandung pada ayat terakhir surah ini, yaitu iman, amal shalih
dan saling menasehati untuk menepati kebenaran serta saling menasehati
dalam kesabaran.
Iman dan amal shalih yang menjadi syarat pertama
keluar dari kerugian merupakan dua hal yang saling terkait, ibarat dua
sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya tidak berguna dan
akan mati iman seseorang tanpa amal shalih, begitu sebaliknya sia-sialah
amal shalih yang tidak berlandaskan iman. Dari iman berasal setiap
cabang kebaikan dan dengannya terkait setiap buah kebaikan. Oleh karena
itu, Al-Qur’an dengan tegas menghancurkan nilai seluruh amal perbuatan,
selagi amal perbuatan itu tidak didasarkan pada iman yang menjadi
pendorong dan penghubung dengan Sang Maha Wujud. “Dan orang-orang yg
kafir, amal perbuatan mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yg
datar, yg disangka air oleh orang yg dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu, dia tdk mendapatinya suatu apapun”.(AN-Nur: 39). Secara
impelementatif, Iman adalah gerak dan amal, pembangunan dan pemakmuran
menuju Allah. Ia bukan sesuatu yang pasif, layu dan bersembunyi di hati
nurani. Juga bukan sekedar kumpulan niat yang baik yang tidak tercermin
dalam bentuk perbuatan & gerak.
Ayat yang terakhir dan
terpanjang dalam surah ini merupakan gambaran kepedulian seorang mukmin
dengan saudaranya tentang kebaikan. Saling berpesan dalam kebenaran
tentu sangat diperlukan, karena melaksanakan kebenaran itu butuh bantuan
orang lain. Saling berpesan berarti mengingatkan, memberi dukungan,
memotivasi dan menyadarkan. Dan seseorang tidak akan mungkin mampu
melaksanakan kebenaran dan kebaikan yang sempurna secara personal, tanpa
keterlibatan orang lain. Demikian juga saling berpesan dengan kesabaran
sangat diperlukan karena akan bisa meningkatkan kemampuan, semangat dan
perasaan kebersamaan. Apalagi dalam meyakini, menjalankan dan menyeru
kebenaran tadi bisa jadi akan menghadapi hambatan, rintangan dan
tantangan dalam beragam bentuknya. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,
“Kesabaran adalah setengah dari (realisasi) iman seseorang”. Disinilah
urgensi kepedulian seorang mukmin dengan suadaranya dalam dua hal yang
saling berkaitan; kebenaran dan kesabaran.
Yang menarik untuk
dicermati mengenai tafsir surah ini adalah pendapat Al-Wahidi dalam
kitab tafsirnya Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz. Beliau mengemukakan
secara spesifik contoh mereka yang telah mendapat kerugian dan
keberuntungan berdasarkan urutan dalam mushaf. Abu jahal merupakan
representasi dari orang yang merugi. Abu Bakar merupakan sosok yang
sesuai dengan implementasi iman. Umar bin Khattab mewakili orang-orang
yang beramal shalih. Utsman bin Affan merupakan contoh nyata dari mereka
yang saling menasehati dalam kebenaran dan Ali bin Abi Thalib identik
dengan golongan yang saling menasehati dalam kesabaran. Lebih lanjut As-Syanqithi dalam tafsir ‘Adhwa’ul Bayan mengemukakan Mafhum mukhalafah
dari setiap ajaran dalam surah ini; mafhum mukhalafah dari
keberuntungan adalah kerugian, yaitu tdk beriman (kafir), tidak beramal
atau beramal buruk, tidak berpesan dengan kebenaran atau berpesan tetapi
dengan kebatilan serta tidak berpesan dengan kesabaran atau senantiasa
berkeluh kesah.
Sungguh setiap kita mendambakan
kesuksesan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Tidak ada jalan dan manhaj lain melainkan mengamalkan kandungan surah
ini secara totalitas seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat
Rasulullah saw. Disebutkan bahwa tidaklah dua orang sahabat Rasulullah
bertemu, melainkan salah seorang dari keduanya akan membacakan surah ini
sebelum berpisah, kemudian saling mengucapkan salam dan saling berjanji
serta berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan iman dan beramal
shalih, saling berjanji untuk senantiasa berpesan dengan kebenaran dan
dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar