Sedangkan pengertian ikhlash secara
mudahnya adalah beramal dengan tujuan semata-mata karena Alloh SWT tanpa ada
motivasi yang lain. Ikhlash adalah hal yang sangat sulit karena manusia
memiliki selera (ingin dipuji, dihargai dll) apalagi konsep diri mutakhir
mengajarkan bahwa setiap orang harus menonjol, sementara ikhlash lebih
menekankan kedalam diri. Dalam Islam orang yang ikhlash tetap memiliki karya
yang hebat dan tidak bisa ditutup-tutupi. Contohnya : Ketika Umar menjadi
khalifah, terjadi perang melawan Byzantium. Pasukan Islam berhasil menerobos ke
dalam istana sehingga raja Byzantium tewas terbunuh. Tetapi diantara seluruh
pasukan tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya yang telah menewaskan Sang
Raja. Ketidak tahuan itu terus berlanjut sampai pasukan kembali ke Makkah dan
melaporkan kejadian tsb pada Khalifah. Selama berhari-hari hal itu menajdi
misteri sampai suatu ketika ada seorang pemuda yang datang kepada khalifah dan
berkata : ”sebenarnya saya enggan melakukan ini, tetapi ada amanah pada diri
saya yang harus saya sampaikan. Sesunguhnya sayalah yang membunuh raja
Byzantium dan saya tetap ingin merahasiakan itu tetapi saya menyimpan mahkota
Raja yang merupakan amanah (ghonimah) yang harus saya sampaikan, maka… terpaksa
harus aya melakukan ini (mengaku).
Suatu ketika, ada seorang shahabat
yang ingin beramal karena Alloh tetapi ingin dipuji juga. Kemudian hal tsb
ternyata menjadi penyebab turunnya ayat, “barangsipaa yang hendak bertemu
dengan Alloh hendaklah ia bermala sholih dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
siapapun.”
1. 1. Urgensi
Ikhlash
·
Menyelamatkan Seseorang dari
masalah yang sangat berat
Orang yang ikhlash cenderung tidak
banyak masalah, lurus-lurus saja. Hal ini antara lain disebabkan oleh keyakinan
bahwa apapun yang ada di langit dan di bumi, yang terlihat atau selalu
disembunyikan dalam dada akan dihisab oleh Alloh (QS. 2:284). Di dalam hidup,
godaan terberat adalah masalah mengendalikan hawa nafsu terutama kebutuhan
biologis/ seksual. Dan dalam sejarah orang yang mampu mengatasinya antara lain
Yusuf as. Hal tsb dikarenakan Yusuf termasuk diantara hamba-Nya yang mukhlisun/
ikhlash (QS. 12:24). Dalam konteks ini, sebenarnya Yusuf juga memiliki hasrat
untuk melakukan hal yang sama (dan hal tsb normal) tetapi keikhlasan pada
segala perintah Robb-nyalah yang menjaga dari perbuatan tercela tsb.
·
Akan mendapatkan pahala
kebaikan walaupun sarananya terbatas
Ikhlash adalah salah satu fenomena
bathin dan seringkali identik dengan masalah niat, sementara setiap amal
tergantung dari niatnya. Salah satu rukun Islam adalah haji dan siapakah yang
mendapat pahala/ keutamaan haji? Apakah hanya merekja yang bisa menunaikannya
saja? Apakah yang pergi haji pasti diterima amalnya? Bagaimana dengan mereka
yang tidak mampu naik haji? Adilkah Alloh jika keutamaan haji hanya bisa
didapat oleh orang kaya, sementara kemiskinan bisa juga merupakan takdir?
Jawabnya mungkin akan kita temukan sebagaimana ibroh dalam perang Tabuk.
Perang Tabuk adalah perang yang
sangat berat, perang yang terjadi di tengah musim kemarau panjang dan krisis
moneter (perdagangan sedang sepi). Sementara tempatnya sangat jauh sehingga
hanya mereka yang meiliki kendaraan saja yang dapat ikut berperang
sementara sebagian dari kebun kurma hampir panen. Banyak diantara muslim yang
memperlambat persiapannya dikarenakan malas, sementara ada beberapa orang yang
–sampai menangis—meminta ikut kepada Rasululloh tetapi mereka tidak meiliki
sarana (baju perang dan kuda). Akhirnya Rasululloh berangkat sedang mereka
tidak. Sementara di perjalanan Rasululloh berkata kepada para shahabtanya
bahwas etiap mereka naik gunung, turun gunung, berlari dan berperang dll,
mereka ( yang meminta ikut berperang) mendapat pahala yang sama (Asbabunnuzul
QS. 9:92-93) hal tersebut dikarenakan setiap amal dihitung berdasarkan niatnya.
Sementara… niat itu sering pula disebut al Qashdu (keinginan kuat), jadi bila
sudah memiliki keinginan kuat, insyaAlloh merupakan sebagian dari syarat
mendapat keutamaan suatu amalan. Sementara jika keinginan setengah-setengah
dianggap munafik. Karena sesungguhnya Alloh tidak memandang fenomena fisiknya
(rupa & harta) tetapi memandang fenomena bathinnya (hati dan keikhlasan
amal).
·
Amal seseorang mendapat
ganjaran sesuai dengan keikhlasannya
Sebagaimana firman Alloh dalam QS.
Al Mulk : 2 “…Siapa diantara kalian yang lebih ihsan amalnya”. Sangat jelas
bahwa yang Alloh lihat bukan banyaknya amal, tetapi ihsannya suatu amal. Dan
indikator ihsan adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah rasul.
1. 2. Fenomena
Ikhlash dan Tanda-tandanya
·
Bersungguh-sungguh dalam ibadah
baik sedang sendiri maupun beramai-ramai. Sholat
dan bacaan sholat meiliki potensi riya’. Ibadah yang dizhihirkan resiko
riya’nya tinggi maka imbangi dengan ibadah yang tersembunyi. Semakin jauh
seseorang dengan Allah semakin lain pandangannya tentang segala sesuatu. Orang
yang dekat dengan Allah memandang kedudukan adalah amanah yang akan dihisab dan
merepotkan, sementara yang jauh dari Allah memandangnya sebagai kesempatan dan
kenikmatan.
·
Selalu menjaga larangan Allah
baik sendiri maupun dengan orang lain. Karena bagi orang yang ikhlash
sama saja baik sendiri maupun bersama yang lain sebagaimana firman Allah
“…Sesungguhnya Allah ada dimana saja kamu berada”
·
Bergembira bila kebaikan datang
dari orang lain, akui kemampuan orang lain. Tidak
ikhalsh membuat manusia menjadi tidak objektif “..Dan janganlah kebencianmu
kepada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil”. (Atau sebagaimana yang
Allah jelaskan dalam QS. 5:30-39). Perkataan Iblis –yang tidak ikhlash—bahwa
manusia terbuat dari tanah sementara jin dari api, maka kemudian tidak
sepantasnya bersujud pada mansuia, terlihat tidak obyektif. Karena menusia
sebenarnya berasal dari tanah dan ruh(sesuatu
yang mulia dan berasal dari sisi Allah). Kemudian apa hebatnya api dibanding
tanah. Hal tsb hanya karena tidak ikhlash menerima perintah Allah.
Musuh Nabi Amru bin Ash, diakui
kehebatannya oleh Nabi di depan pasukan Islam. Setelah diutarakan kehebatannya,
terakhir nabi mengatakan “…sayangnya beliau bukan seorang muslim”. Jadi nabi
SAW mengajarkan kita untuk membedakan keberadaan seseorang dengan kebenarannya,
sebagaimana Allah mengajarkan hal serupa, dalam al Qur-an existensi Yahudi
tetap diakui tetapi kebenarannya tidak.
Tanda-tanda Ikhlash
v Sikapnya sama saja dipuji atau dihina
Karena dipuji tidak menambah pahala
dan dicela tidak mengurangi. Orang yang ikhlas senantiasa m,encari keridhaan
Allah bukan keridhaan manusia. Tugas kita hanya berbuat, apakah akhirnya
berhasil atau tidak tetap mendapat pahala.
v Semangat amalnya sama baik di depan orang maupun sendirian
Salah satu perusak akhlaq adalah
grakan (sikap) yang dibuat-buat. Orang yang ikhlas ibadahnya biasa saja,
normal-normal saja. Jika sholat di depan orang tidak terlalu lama dan jika
sendirian sama saja.
v Bila dapat ujian semakin tinggi imannya, sementara bila tidak
ikhlas makin terasa bebannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah,
“Sungguh ajaib urusannya orang beriman, setiap persoalannya menjadi kebaikan
bagi dirinya. Dan tidak akan kamu dapati pada siapapun kecuali pada orang yang
beriman. Manakala ia ditimpa musibah, ia bersabar. Dan kesabarannya itu
menjadikan urusannya menjadi baik. Sementara apabila mendapat kenikmatan, ia
bersyukur, dan kesyukurannya menjadkan urusannya semakin baik”.
Dikisahkan, Abu Hanifah adalah
seorang pedagang yang kaya raya. Suatu ketika seorang pembantunya melaporkan
bahwa barang dagangan beliau ludes karena badai. Mendengar kabar tersebut, sang
imam hanya mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, setelah itu pergi
meninggalkan pelayannya (seolah tidak terjadi sesuatu apapun sebelumnya. Lain
waktu, dagangannya mendapat untung yang besar. Ketika hal tsb disampaikan
kepada beliau, ia hanya bersujud syukur dan mengucapkan hamdalah. Setelah itu…
berlalu begitu saja (seolah tidak terjadi apapun. Pelayanannya bertanya kenapa
demikian, sang imam hanya menjawab sesungguhnya segala sesuatunya milik Allah.
Pergi atau datangnya bukanlah sesuatu yang perlu diributkan.
1. 4. Hasil
yang didapatkan dari Ikhlash
·
Akan mendapatkan hakikat islam
yang sebenarnya
Beda tahu dan hakikat ? seperti
orang yang tahu sate dengan seorang yang pakar sate. Dalam hal tsb antara lain
dijelaskan Allah dalam QS. 2:177. Pada ayat tsb Allah membedakan antara esensi
(hakikat) dengan lambang (formalitas). “Kebaikan itu bukan sekedar menghadapkan
wajah ketimur dan kebarat tetapi kebaikan itu ialah … “(QS. 2:177). Salah satu
bentuk tauhid adalah pemahaman yang benar.
·
Akan selamat dari cinta dunia,
kedudukan dan cinta akan pujian
Seperti terjadi pada ulama di Sudan
ketika berubah dari musyawarah di suarau ke rapat-rapat di hotel (setelah
menang pemilu). Lemahnya iman terlihat bila hidup di dunia materialis lalu
menjadi minder. Nabi Yusuf ditegur ketika silau dan tergoda terhadap istri
Fir’aun (QS. 12:29)
·
Mendapat kasih sayang dari
Allah dan manusia
Orang ikhlas berkharisma dan melihat
orang dengan firasat. Kata Nabi saw, “Takutlah dengan firasat mukmin”. Firasat
tsb didapat dari sholat malam dan jangan ngomong. Imam Syafi’i ketika sedang
jalan diberhentikan dan diajak mampir oleh seorang pemuda (lajang) dan
bathinnya berfirasat bahwa pemuda tsb kayaknya pelit tetapi karena khawatir
menyinggung akhirnya mau juga untuk menginap. Tetapi ketika kingin pulang
ditagih bayaran oleh pemuda tadi..
·
Terbebas dari penderitaan
Ikhlas beramal maka rezeki datang.
Ulama kapan cari uang ?
Menurut Imam Ali rejeki ada 2 jenis,
yang dikejar dan yang mengejar. Kalau tawakkal tinggi yang mengejar lebih besar
dari yang dikejar. Ada seorang sufi yang tidak percaya ketika mendengarkan
lantas ia pergi ke pondok di gunung dekat danau untuk membuktikan adanya rejeki
tanpa usaha (rezeki yang mengejar). Sesampainya di sana ia langsung beribadah
dan tidak makan serta minum untuk sekian hari. Menurutnya jika pendapat Imam
Ali tersebut benar, maka ia tidak akan mati. Mulailah ia beribadah sehari, dua
hari, tiga…empat…lima sampai hampir seminggu ia tidak makan. Kondisi badannya
semakin parah dan tidak ada orang lain yang tahu. Ketiak sekarat, ada seorang
pencari kayu yang melintas pondok tsb dan mendengar erangan sufi tsb. Ia
kemudian mencari bantuan dan membawa sufi tsb ke desanya. Sesampai di desa
tahulah mereka bahwa sang sufi hampir mati lemas karena kelaparan, akhirnya
diberikanlah ia seluruh makanan yang lezat yang ada di des tsb. Ketika
tersadar, sang sufi tersenyum dan bergumam bahwa benarlah kiranya apa yang
dikatakan oleh imam Ali. (Kitab Tasawuf zaman I). Ada pula kisah tentang
seorang pencuri yang hendak mencuri di rumah seorang ustadz, kemudian mendengar
ayat Qur-an “Rejeki berada di langit dan tidak akan habis” kemudian ia berusaha
mencari rezeki yang halal dan setahun kemudian ia naik haji. Wallahu ’alam.
REFERENSI
1. Niat
dan Ikhlash, Yusuf Qordhowi
2. Materi
Ikhlas, ma’had Al Hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar