Kaum muslimin yang
dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban kita sebagai
seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini adalah
sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta’ala memiliki
sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.
Misalnya, Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Fatihah,
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Fatihah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nisaa’: 96)
Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu
ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya.
Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya
ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.”
Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang
daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, perlu
dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman
maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah
rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para
malaikat,
رَبَّنَا وَسِعْتَ
كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala
sesuatu.” (QS. Ghafir/ Al Mu’min: 7)
Adapun rahmat
yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal
ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ
كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan
Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf: 156)
Rahmat Allah yang
bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat
dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan
minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa
mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.
Adapun rahmat
Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang
Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan
turunnya al-Qur’an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah
rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang
mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang
Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS.
An-Nahl: 36)
Allah ta’ala juga berfirman,
الم (1) ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
“Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur’an). Tidak ada keraguan sama
sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang
yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari
sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani
apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka
meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Al-Baqarah: 1-5)
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ
هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat
dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123)
Keimanan terhadap
sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat
terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Di antaranya adalah:
Pertama: Menumbuhkan
kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam
nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa
yang disyari’atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang
terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka
tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Baqarah: 173)
Maka, apabila
seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir
mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan
bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang
Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta
pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمً
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah
adalah sangat penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Oleh sebab itu
segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh
Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini
menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja
hal itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.
Kedua: Iman kepada
rahmat Allah akan membukakan pintu roja’/harapan terhadap ampunan dan kasih
sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap
rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat
sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ تَابَ مِنْ
بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang
dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Ma’idah: 39)
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap
dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Ketiga: Iman kepada
rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh
sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang
sesungguhnya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ
قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang
berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raaf: 56)
Sementara makna
dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan
termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah.
Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah
kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah
seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR.
Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Maka siapa saja
yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah,
yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya’, memurnikan ibadah untuk
Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan
manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan akhlak yang
utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.
Dengan
merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat
rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di
dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang
senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat
al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.
Sebab, dengan
mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas
kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula
seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya
ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini
juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di
sisi-Nya.
Wallaahu
ta’ala a’lam bish shawaab. Wa shallallaahu ‘ala Nabiyyir rahmah, wa ‘ala aalihi
wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa
ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na’budu illa iyyah. Wa laa
haula wa laa quwwata illa billaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar