Sebagian besar tulisan di bawah ini yang awal, saya salin dari buku karya Al Jauziyah, Ibnul Qoyyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha, Terjemahan Bahasa Indonesia: Rahasia dibalik Shalat. Hal: 119-150. Jakarta: Pustaka Azzam, Cetakan Kesembilan Agustus 2005.
Apakah sah shalat seseorang yang melaksanakannya sendirian, sedangkan ia mampu untuk melaksanakan shalat berjama’ah?
Pembahasan tentang masalah ini ditetapkan atas 2 pokok permasalahan:
1. Apakah shalat berjama’ah itu wajib hukumnya, ataukah sunnah saja?
2. Jika shalat berjama’ah itu wajib, apakah ia merupakan syarat
sahnya shalat atakah keshahihan shalat berjama’ah dapat menyebabkan dosa
jika ditinggalkan?
Pembahasan permasalahan pertama
Para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal ini, diantara para ahli
fiqih yang menyatakan bahwa shalat berjama’ah itu wajib adalah ‘Atha
bin Abu Rabah, Hasan Al-Bashry, Abu ‘Amru Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Imam
Ahmad dalam madzhabnya, serta tulisan/karangan Imam Syafi’i dalam
“Mukhtashar Al-Mazany” tentang shalat berjama’ah. Beliau berkata, “Tidak
ada keringanan dalam meninggalkan shalat berjama’ah kecuali bagi mereka
yang berhalangan.” (Ringkasan “Al-Muzanniy” yang dengan sungguh-sungguh
ummu 1/109)
Bnu Al-Mundzir berkata dalam “Kitab Al-Ausath”, “Orang buta sekalupun
wajib melaksanakan shalat berjama’ah, walaupun rumah mereka berjauhan
dari masjid.” Hal ini menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah:
Sesungguhnya menghadiri shalat berjama’ah itu wajib hukumnya bukan
sunnah.
Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai
Rasulullah sesungguhnya jarak antara rumahku dan masjid dibatasi oleh
pohon, dapatkah aku jadikan alasan untuk melaksanakan shalat di rumah
saja?” Rasulullah berkata, “Apakah kamu mendengar Iqamah?” Ia berkata,
“Ya.” Rasulullah bersabda lagi, “Maka datanglah kamu ke masjid dan
shalat berjama’ahlah kamu di sana.”
Ibnu Mundzir berkata, “Ditakutkan dapat menyebabkan kenifakan bagi
mereka yang meninggalkan shalat Isya’ adn Subuh berjama’ah. Kemudian
dalam pertengahan babnya dijelaskan: Banyak Hadits menunjukkan wajibnya
shalat berjama’ah bagi mereka yang tidak berhalangan untuk
melaksanakannya. Dalil yang menunjukkan adalah perkataan Ibnu Munzir
tentang Ibnu Ummi Maktum yang cacat, “Tiada keringanan bagimu (dalam shalat berjama’ah)”. Jika
seorang buta saja tidak mendapatkan keringanan dalam shalat berjama’ah,
apalagi bagi orang yang dapat melihat. Ia berkata, “Rasulullah pernah
mengancam akan membakar orang yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah.
Saya ingin menjelaskan tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena tidak
diperbolehkan (melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri) maka
Rasulullah mengancam mereka yang menggantikan yang sunnah dan bukan
fardhu.
Ia berkata: Hadits Abu Hurairah menguatkan hal tersebut, “Sesungguhnya
seorang laki-laki keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan
adzan. Ia berkata, “Orang itu telah mengingkari Abu Qasim (Rasulullah
saw).” (Ibnu Majah dalam “Masajid dan Jama’ah-jama’ah”, 793 Abu
Dawud dalam “Shalat”, 551 Daruquthni/ 1 420 dan dibenarkan oleh Hakim,
1/245 dan Ibnu Hibban, 2064 dan lengkaplah pendapat mereka, “Kecuali
bagi mereka yang udzur”)
Walaupun orang menghadapi pilihan untuk meninggalkan shalat
berjama’ah atau mendatanginya, tidak boleh (tidak ada alasan) bagi orang
yang meninggalkan apa yang tidak wajib baginya hadir untuk berbuat
ingkar (dengan meninggalkan shalat berjama’ah), karena ketika Allah SWT
memerintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan takut, maka hal ini
menunjukkan bahwa dalam keadaan aman hal itu lebih diwajibkan.
Hadits-hadits yang telah disebutkan dalam tulisan bab-bab Rukhshah
tentang meninggalkan shalat berjama’ah bagi mereka yang mempunyai udzur
untuk melaksanakannya, menunjukkan atas wajibnya shalat berjam’ah bagi
mereka yang memilik udzur, walapun keadaan udzur dan tidak udzur adalah
sama saja, secara maknawai dalam bab-ba udzur belum ditemukan Rukhshah
(keringanan) untuk meninggalkans shalat berjama’ah.
Dalil yang menegaskan wajibnya shalat berjama’ah adalah sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa mendengar panggilan untuk shalat dan ia tidak menjawabnya maka tidak sah shalat yang ia lakukan.” (HR.
Muslim dalam “Al-Masajid” 665, diriwayatkan oleh yang lain-lain).
Kemudian hadits ini mengarahkan ke arah tujuan tersebut kemudian ia
berkata: Syafi’i berkata: Allah SWT mengingatkan sahalat dengan adzan,
firman Allah SWT, “Dan jika kalian dipanggil untuk melaksanakan shalat.” (QS. Al-Maidah: 87) dan firman Allah SWT, “Jika dipanggil untuk melaksanakan shalat di hari Jum’at maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah.”
(QS. Al-Jumu’ah: 9), dan Rasulullah menjadikan adzan sebagai hal yang
sunnah untuk memanggil shalat yang lima waktu, karena sifatnya yang
demikian (adzan merupakan panggilan untuk melaksanakan shalat), maka
tidak diperbolehkan untuk shalat yang lima waktu itu selain berjama’ah,
sehingga tidak ada shalat yang didirkan selain dengan shalat berjama’ah,
tidak ada keringanan bagi mereka yang dapat melaksanakan shalat
berjama’ah untuk meninggalkannya kecuali bagi mereka yang mempunyai
udzur.
Jika seseorang meninggalkan shalat berjama’ah kemudian melaksanakan
shalat sendirian, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang shalat
kembali, baik ia melaksanakan shalat sebelum imam maupun sesudahnya,
kecuali shalat jum’at, karena barangsiapa secara sengaja melaksanakan
shalat sebelum imam, maka dia wajib untuk mengulanginya, karena
menghadiri shalat jum’at adalah wajib. Demikiianlah penjelasan Ibnu
Al-Mundzir mengenai shalat berjama’ah.
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat: shalat berjama’ah itu sunnah
muakad, tetapi mereka berpendapat bahwa meninggalkannya merupakan dosa,
sedangkan mereka mensahkan (membenarkan) shalat yang tanpa berjama’ah.
Dal hal ini mereka bertentangan dengan orang yang mengatakan bahwa,
“Sesungguhnya shalat berjama’ah itu wajib lafdzy.”
Di Bawah ini merupakan penjelasan orang yang mengatakan wajb:
Orang-orang yang meawjibkan shalat berjama’ah berkata: Allah SWT berfirman, “Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan bersama-sama, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan rakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang segolongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah
mereka denganmu….” (QS. An-Nisa: 102).
Bentuk pembuktiannya adalah sebagai berikut:
1. Dalil pertama:
Perintah Allah SWT kepada mereka untuk shalat berjama’ah, kemudian Allah
mengulangi perintah tersebut untuk kedua kalinya bagi kelompok yang
kedua. Firman Allah SWT, “Hendaklah datang golongan yang kedua belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.“
Bukti ini menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu fadhu ‘ain. Karena
Allah tidak mengabaikan perintah untuk shalat berjama’ah pada kelompok
yang kedua sebagaimana yang diperintahkan kepada kelompok pertama untuk
melaksanakan shalat berjama’ah pula. Tidaklah tepat jika dikatakan
bahwa shalat berjama’ah itu sunnah, karena jika demikian halnya,
pastilah kelompok pertama memiliki udzur untuk tidak melaksanakan shalat
berjama’ah dengan alasan akan adanya rasa takut. Tidak tepat pula kalau
dikatakan shalat berjama’ah itu fardh kifayah, karena menjadi tidak
relevan dengan apa yang dilakukan oleh kelompok yang pertama.
Maka ayat tersebut merupakan dalil bahwa shalat berjama’ah hukumnya
fardhu ‘ain. Hal ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1. Allah
memerintahkan untuk shalat berjama’ah kepada kelompok pertama, 2.
kemudian Allah memerintahkan kelompok kedua untuk melaksanakkannya juga,
3. Allah tidak memberikan keringanan-keringanan bagi mereka untuk
meninggalkannya walaupundalam keadaan takut.
2. Dalil kedua: Firman Allah SWT:
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٍ۬ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا
يَسۡتَطِيعُونَ (٤٢) خَـٰشِعَةً أَبۡصَـٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٌ۬ۖ
وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَـٰلِمُونَ (٤٣)
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk
bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereke
tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka
dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan
sejahtera. ” (QS. Al-Qalam: 42-43).
Aspek yang dapat dijadikan dall shalat berjama’ah adalah:
sesungguhnya Allah SWT member hukuman di hari kiamat, dikarenakan antara
keadaan mereka dan sujud, ketika mereka dipanggil untuk bersujud di
dunia, mereka enggan untuk menjawab panggilan tersebut.
Jika demikian halnya, maka jawaban dari panggilan itu adalah datang
ke masjid untuk memenuhi tuntunan shalat berjama’ah, dan bukan
mengerjakan shalat di rumahnya sendiri, demikianlah Nabi saw
menjelasakan jawabannya.
Muslim meriwayatkan dalm shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata, Seseorang
lelaki buta datang kepada Nabi seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, aku
tidaklah memiliki penuntun jalan untuk menuntunku datan ke masjid,
kemudian ia meminta Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika
ia berpaling (hendak berlalu pergi) Rasulullah memanggilnya kembai dan
berkata, “Apakah kamu mendengar panggilan (adzan).” Ia berkata, “Ya.”
Rasululla bersabda, “Maka Jawablah.” (HR. Muslim “Al-Masaajid wa Mawadli’ Al-Shalah”. 63).
Ia tidak menjawab panggilan tersebut dengan melaksanakan shalat di
rumahnya, jika ia mendengar panggilan (seruan adzan), hal ini
menunjukkan bahwa jaawban yang diminta dari perintah tersebut adalah
mendatangi masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah.
Hadits Ibnu Ummi Maktum juga membutikannya, ia berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kota (Madinah) itu bnyak sekali hal yang
mengerikan dan binatang buas, Rasulullah bersabda, “Apakah kamu
mendengar seruan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (Mariah
shalat dan marila mencapai kebahagiaan)?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah
berkata, “Hayyahala (Penuhilah kedua ajakan itu).” Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad (Lafadz ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam “Al-Shalat” 553 dan Nasa’i dalam “Imamah” 2/110 dan Ahmad 3/423
serta Ibnu Majah dalam “Al-Masajid” 792. Dibenarkan oleh Ibnu Khuzaimah
1480).
Hayyahala adalah kalimat perintah yang artinya adalah terimalah dan
jawablah. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya menjawabapa yang
diperintahkan di sini adalah melaksanakan shalat berjama’ah, sedangkan
yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab panggilan tersebut.
Tidak sedikit ulama salaf yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah, “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan yang sejahtera” adalah perataan Mu’adzin, “Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falah”. (Diriwayatkan
oleh Thabari 43/29) dari Ibrahim at-Taimy an Sa’id bin Jabir dan
ditetapkan oleh Suyuti dalam Daruquthni yang terkenal 8/256. Baihaqi
dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mardiyah berita-berita dari Ka’ab).
Dalil di atas membuktikan dua hal: 1. Bahwasanya menjawab panggilan
(untuk shalat berjama’ah) adalah wajib, 2. Bahwa yang dimaksud dengan
menjawab panggilan di sini adalah menghadiri shalat berjama’ah.
Inilah yang dipahami oleh golongan orang yang paling mengetahui dan
paling memahami apa yang dimaksud dengan “Manjawab Panggilan”, mereka
itu adalah para sahabat radhiallahu’anhum. Ibnu Mundzir berkata dalam
kitab Al-Ausath, “Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa
sesungguhnya keduanya berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan
(seruan adzan) kemudian tidak menjawabnya, maka sesungguhnya tidak
diterima salatnya, kecuali bagi mereka yang berhalangan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubar” 3/174).
Ia berkata, dan diriwayatkan dari Aisyah sesungguhnya ia berkata, “Barangsiapa
yang mendengar panggilan (seruan adzan) dan ia tidak menjawab, dan
tidak menerima dengan baik dan tidak menerimanya.” (Diriwayatkn oleh Al-Baihaqi “As-Sunan Al-Kubra: 3/57).
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Mengisi kedua telinga anak manusia
dengan timah yang terkumpul lebih baik bagi seorang anak manusia
daripada ia mendengar seruan (panggilan untuk shalat) kemudian ia tidak
menjawab panggilan tersebut.”
Hal ini dan banyak lagi dalil yang lainnya menunjukkan bahwa para
sahabat menjawab panggilan tersebut dengan menghadiri shalat berjama’ah,
sedangkan mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah tidak menjawab
panggilan tersebut, aka mereka menjadi berdosa.
3. Dalil ketiga: Firman Allah SWT:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” (QS. Al-Baqarah: 43).
Konteks dari ayat tersebut adalah sesunguhnya Allah SWT memerintahkan
mereka untuk ruku, yang dimaksud ruku disini adalah shalat, dan shalat
diibaratkan dengan ruku karena ruku merupakan salah satu rukun shalat,
dan shalat ini diibaratkan dengan rukun-rukunnya dan wajib-wajibnya.
Seperti Allah SWT menamakannya dengan sujud (sujuudan), quraanan, maupun
pujian-pujian (tasbiihan), maka mestilah firman Allah SWT “ma’ar raki’in”
mempunya pengertian lain, yang tidak lain dari melaksanakannya bersama
para jama’ah yang melaksanakan shalat dan kebersamaan itu mengandung
makna tersebut.
Jika perintah yang terikat (Al-Amru Al-Muqayyad) ditetapkan
berdasarkan bentuk sifat dan kondisi tertentu, maka orang yang
mendapatkan perintah tersebut harus mengaplikasikannya sesuai dengan
sifat dan kondisi tersebut.
Jika dikatakan bahwa kewajiban shalat berjama’ah ini menjadi batal dengan firman Allah SWT, “Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
(QS. Ali Imran: 43). Maka wanita tidak diwajibkan untuk hadir dalam
shalat berjama’ah. Dijelaskan ayat ini tidak menunjukkan bahwa seorang
wanita tidak diperintahkan untuk shalat berjama’ah, akan tetapi perintah
tersebut dikhususkan kepada Maryam saja. Berberda dengan firman Allah
SWT, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
(QS. Al-Baqarah: 43). Dalam hal ini Maryam memiliki kekhususan yang
tidak dimiliki oleh wanita lain, karena ibunya pernah bernadzar untuk
menjadikan Maryam sebagai hama yang selalu tunduk dan patuh kepada
Allah, dan untuk beribadah kepada-Nya, serta mengabdi untuk memakmurkan
masjid, dan tidak meninggalkannya. Maka diperintahkan kepadanya untuk
ruku’ bersama orang-orang yang ruku’. Dan ketika Allah SWT memilih
Maryam dan mensucikannya di atas semua wanita yang ada di dunia, Allah
memerintahkannya untuk selalu ta’at kepada perintah-Nya dengan perintah
yang khusus dan lain dari wanita pada umumnya. Firman Allah SWT, Dan
(ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan kamu atas
segala wanita di duni (yang semasa denganmu). Hai Maryam, taatlah kepada
Tuhanmu, suju dan ruku’lah bersama orang-orang yang sujud.” (QS.
Ali Imran: 42-43). Maka jika dikatakan keadaan mereka yang diperintahkan
untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, tidak secara harfiah
menunjukkan kewajiban untuk ruku’ seperti mereka, akan tetapi
menunjukkan akan keharusan untuk melakukan perintah tersebut.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman bertawakallah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS.
At-Taubah: 119), kebersamaan (kata ma’a) yang dimaksud menuntut
keikutsertaan dan keterlibatan dalam melakukan pekerjaan dan bukan hanya
sebatas mengiringi. Dijelaskan bahwa hakekat kebersamaan adalah
pertalian antara apa yang sesudahnya dengan apa-apa yang sebelumnya, dan
pertalian disini lebih ditekankan kepada keikutsertaan, apalagi dalam
shalat. Maka jika dikatakan shalatlah engkau bersama jama’ah, atau aku
telah melaksanakan shalat bersama dengan jama’ah. Maka hal itu tidaklah
dapat dipahami kecuali kumpulnya mereka untuk melaksanakan shalat.
4. Dalil keempat: Yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain – dengan lafadz Bukhari – Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Demi
Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku sangat
ingin memerintahkan (orang-orang) untuk mengumpulkan kayu bakar lalu
dinyalakan, kemudian aku memerintahkan shalat sehingga dikumandangkanlah
adzan untuk itu, lalu aku memerintahkan seseorang laki-laki untuk
mengimami mereka, sementara aku mencari orang-orang (yang tidak
mengikuti shalat berjama’ah) dan aku bakar rumah mereka. Demi Dzat yang
mana jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara mereka
mengetahui bahwa ia akan mendapatkan potongan daging yang gemuk atau dua
binatang buruan yang baik, niscaya ia akan mengikuti jama’ah shalat
Isya.” (HR. Shahih Bukhari dalam “Adzan” 744, Muslim dalam
“Al-Masajid” 751, dan ‘Arq = tulang dan daging, atau memotong daging,
sedang “marmatami” mempunyai pengertian antaranya: yang ada di antara
dua kuku kambing yang dibuang atau selainnya).
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ أَثْقَلَ الصًّلاَةِ عَلَى الْمُنَا فِقِيْنَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ
وَ صَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا
لَأَتَوْهُمَاوَلَوْحَبْوًاوَلَقَدْهَمَمْتُ أَنْ آمُرَبِالصَّلاَةِ
فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي
بِرِ جَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُونَ
الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq
adalah shalat isya (berjama’ah) dan shalat subuh (berjama’ah),
seandainya merek mengetahui (hikmah) yang ada dalam keduanya niscaya
mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin
memerintahkan (orang-orang) untuk melaksanakan shalat sehingga shalat
itu didirikan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami
mereka, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang yang membawa
ikatan kayu bakar (yang menyala) menuju kepada orang-orang yang tidak
mengikuti shalat (berjama’ah), lalu aku membakar rumah mereka dengan api
itu.” (Kedua Imam, Muslim dan Bukhari, sepakat atas keshahihan
hadits ini, dan lafadz dari Muslim. Dari hadits yang sama pendapat
keduanya dan Bukhari berpendapat seperti itu, 657).
Dari Imam Ahmad dari Nabi Muhammad saw, “Kalau di rumah itu tidak
ada wanita dan anak-anak, aku melaksanakan shalat isya, dan aku
perintahkan para pemuda untuk membakar apa yang ada di dalam rumah itu. ” (HR. Musnad Imam Ahmad, 2/367).
Mereka yang mengatakan tidak wajib mengemukakan beberapa alasan yang
menunjukkan tidak wajibnya shalat berjama’ah ditinjau dari beberapa
aspek:
a. Pertama:
Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada orang-orang yang
meninggalkan shalat jum’at. Dalil yang memperkuatnya adalah apa yang
diriwayatkan oleh Musim dalam shahihnya dari hadits Abdullah bin Mas’ud
r.a. sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda kepada kaumnya yang
meninggalkan shalat Jum’at, “Telah aku perintahkan laik-laki untuk
shalat berjama’ah, kemudian aku akan membakar rumah laki-laki yang
melaksanakan shalat jum’at di rumah mereka.” (HR. Shahih Muslim dalam “Al-Masajid wa Mawadi’u Al-Shalah” 652)
b. Kedua:
Sesungguhnya hal ini boleh dilakukan ketika hukuman denda berupa materi
dijalankan, kemudian dihapuskan dengan adanya hukuman yang berupa
hukuman denda tersebut.
c. Ketiga: Dalam hal
ini Nabi hanya mengancam saja tanpa berniat untuk melaksanakan
ancamannya. Kalau seandainya pembakaran tersebut dibolehkan/dilaksanakan
maka hal itu menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah. Sesungguhnya
hukuman tidak harus demikian, bahkan jika seandainya shalat berjama’ah
itu wajib, atau haram sekalipun, ketika Nabi tidak melaksanakan
ancamannya, hal itu menunjukkan bahwa pembakaran tidak boleh
dilaksanakan.
Mereka berkata, “Hadits di atas menunjukkan batalnya wajib shalat
berjama’ah, karena meninggalkan shalat berjama’ah, bukan berarti
meninggalkan hal yang wajib (dalam hal ini shalat fardhu).”
Mereka juga berkata bahwa Nabi saw berniat untuk membakar rumah-rumah
mereka, dikarenakan kepura-puraan (kemunafikan) mereka, bukan lantaran
karena mereka meninggalkan shalat berjama’ah.
Orang-orang yang mewajibkan shalat berjama’ah berkata, “Dalil-dalil
yang Anda sebutkan tidak mengandung petunjuk yang membatalkan hadits
yang mengisyaratkan wajibnya shalat berjama’ah:
Perkataan kalian, “Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada
mereka yang meninggalkan shalat Jum’at.” Memang benar bahwa ancaman
tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat Jum’at tetapi
juga sekaligus ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat
berjama’ah. Secara gamblan hadits Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa
hal itu ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan
hal itu secara jelas terdapat di awal dan akhir hadits. Dan hadits Ibnu
Mas’ud r.a. menunjukkan bahwa hal itu juga ditujukan kepada mereka yang
meninggalkan shalat jum’at. Maka dalam hal ini tidak ada pertentangan
di antar kedua hadits tersebut.
Sedangkan perkataan kaian, “Sesungguhnya hal itu dihapuskan.”
Alangkah sulitnya untuk menguatkan/menetapkan pendapat tersebut!
Dimanakah syarat-syarat naskh (penghapusan) yang mengharuskan adanya
hukum pengganti dari hukum yang digantikannya. Niscaya kalian dan semua
penghuni bumi ini tidak akan mempunyai cara untuk menetapkan statement
tersebut. Telah banyak orang yang menjadikan Naskh dan Ijma’ sebagai
cara untuk menghapuskan sunnah-sunnah yang tetap dari Rasulullah saw dan
ini bukanlah hal yang sepele. Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan
sunnah-sunnah Rasulullah saw yang benar dengan menggunakan dan jangan
pula meninggalkannya dengan menggunakan Naskh kecuali ada Naasikh (yang
menghapuskannya) yang benar dan jelas yang datang setelah itu yang
diambil dan dijaga oleh ummat manusia. Jika ummat ini meninggalkan
Naasikh yang seharusnya dijaga, dan sebaliknya menjaga Mansukh yang
hukumnya telah tidak berlaku lagi, maka tidak ada lagi yang tersissa
dari agama ini. Akan tetapi banyak dari generasi selanjutnya yang jika
melihat hadits yang bertentangan dengan madzhab mereka, mereka kemudian
mena’wilkannya (sesuai dengan madzhab mereka), hal ini jelas akan
menimbulkan pertentangan. Jika datang kepada mereka dalil yang
mematahkan pendapat mereka, mereka akan berdalih dengan menggunakan
Ijma’, dan jika mendapatkan pertentangan yang tidak memungkinkan mereka
untuk menggunakan Ijma’, mereka berdalih bahwa dalil tersebut telah
di-Mansukh-kan.ik A Cara demikian bukanlah cara yang sepatutnya
dilakukan oleh ummat Islam. Bahkan ummat Islam menentang cara-cara
seperti ini, dan jika mereka menemukan sunnah Rasulullah saw yang benar
dan jelas, mereka tidak akan membatalkannya dengan ta’wil dan tidak pula
dengan Ijma’ serta Naskh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah merupakan
orang-orang yang sangat menentang cara-cara seperti itu dengan taufik
Allah SWT.
Sesugguhnya Nabi tidaklah melaksanakan niatnya untuk orang yang
dilarang yang telah dikabarkan bahwa Rasullah saw telah mencegahnya
untuk melakukan hal itu, yaitu mencakup rumah yang di dalamnya terdapat
orang yang tidak diwajibkan atas mereka shalat berjama’ah yang terdiri
dari para wanita dan anak-anak, maka apabila seandainya mereka membakar
untuk melaksanakan hukuman kepada mereka yang tidak diwajibkan untuk
melaksanakan shalat berjama’ah, hal ini tidak dapat dilakukan.
Sebagaiman jika al-Had (Hukum Syari’at) dijatuhkan kepada wanit yang
hamil, maka hukuman itu tidak dilakukan (ditunda) sampai wanita itu
melahirkan, agar hukuman tersebut tidak berakibat kepada kehamilannya.
Dan Rasulullah saw selamanya tidak bermaksud untuk melakukan apa yang
tidak boleh dilaksanakan.
Sebagian ulama telah memberikan jawaban yang lain, yaitu,
“Sesungguhnya kaum ini lebih takut kepada Rasulullah saw daripada
mendengarkan perkataan tersebut, kemudian mereka meninggalkan shalat
berjama’ah.”
Adapun pendapat kalian yang menyebutkan, Bahwa hadits itu menunjukkan
adanya ketidakwajiban shalat berjama’ah, karena beliau ragu-ragu apakah
ia meninggalkannya atau tidak. Satu hal yang tidak mungkin dinisbatkan
dan tidak pula dituduhkan kepada Rasulullah saw adalah bahwa beliau
ragu-ragu memberikan hukuman kepada sekelompok kaum Muslimin dengan
membakar rumah-rumah mereka karena meninggalkan suatu amalan sunnah yang
belum diwajibkan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan Rasulullah saw
belum memberitahukan bahwa beliau pernah melakukan shalat sendirian,
tetapi beliau shalat berjama’ah dengan para sahabatnya yang pergi
bersamanya ke rumah itu. Juga kalaulah ia shalat sendirian maka pastilah
di sana ada dua kewajiban yaitu, Wajib berjama’ah dan wajib memberikan
hukuman kepada orang-orang berbuat maksiat dan memeranginya. Maka dalam
hal ini meninggalkan yang lebih rendah dari kedua kewajiban tersebut
karena mendahulukan yang lebih tinggi, seperti halnya pada shalat khauf.
Adapun pendapat anda yang menyebutkan: Bahwa Beliau saw bermaksud
memberi hukuman kepada mereka karena keingkaran mereka bukan karena
mereka meninggalkan shalat berjama’ah. Maka hal ini perlu dilihat dua
hal. Pertama adalah pembatalan apa yang diekspresikan oleh Rasulullah
saw dan menghubungkan hukuman karena meninggalkan shalat berjama’ah.
Kedua mengekspresikan apa yang dibatalkannya, maka sesungguhnya tidaklah
orang-orang munafik itu dihukum karena nifak mereka, tetapi karena
perbuatan mereka yang tidak terlihat, sedangkan yang tersembunyi dari
mereka diserahkan kepada Allah. (Yang berpendapat bahwa maksudnya adalah
keinginan orang-orang munafik adalah Syafi’i dan lain-lain sebagaimana
di dalam “Al-Majmu” 4/192, dan dikuatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
ketika menjelaskan hadits ini dalam “Fathul Baari”, hanya saja ia
menguatkan bahwa maksudnya kemaksiatan dan bukan kekafiran seperti yang
dimaksud oleh Pengarang).
5. Dalil Kelima : Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab “Shahih”-nya: Bahwa
seorang laki-laki buta berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak memilki
seorangpun yang dapat menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta Rasulullah
saw untuk memberikan keringanan baginya. Ketika ia berpaling,
dipanggilnya ia oleh Rasulullah saw dan berkata, “Apakah engkau
mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw menjawab, “Penuhilah
(datanglah untuk shalat)”. Orang ini adalah Ibnu Ummi Maktum dan ada perbedaan pendapat mengenai namanya, kadang disebut Abdullah dan kadang disebut Amru.
Dalam “Musnad” Imam Ahmad, dan “Sunan” Abu Dawud dari Amru bin Ummi Maktum berkata, “Aku
berkata wahai Rasulullah aku orang lemah yang jauh dari masjid dan aku
punya pemimpin tapi tidak melindungiku, apakah ada keringanan buatku
untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw bersabda, “Apakah engkau
mendengar adzan?” Ia berkata, “Ya.” Rasulullah saw berkata lagi, “Tidak
ada keringanan bagimu”.
Orang-orang yang menolak diwajibkannya shalat Jama’ah berpendapat:
Ini perkara yang disukai bukan perkara yang diwajibkan. Perkataan Nabi
saw yang menyebutkan,”Tidak ada keringanan bagimu” artinya kalau engkau
mau mendapat keutamaan berjama’ah, maka lakukanlah.
Ada lagi yang berpendapat: Hal ini telah dimansukh.
Orang yang mewajibkan berpendapat: Perintah itu berarti suatu
keharusan. Jadi bagaimana jika seorang ahli syara menerangkan bahwasanya
tidak ada keringanan bagi seorang hamba yang tidak berjama’ah karena
lemah dan jau dari masjid dan tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Maka
kalaulah seorang hamba itu kebingungan antara shalat sendirian atau
berjama’ah pasti yang paling bingung ini adalah orang seperti yang buta
itu.
Abu Bakar bin Mundzir berpendapat bahwa perintah untuk berjama’ah
kepada orang yang buat dan yang rumahnya jauh merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu wajib bukan sunnah. Ketika
dikatakan kepada Ibnu Ummi Maktum yang kenyataannya buta, “Tidak ada
keringanan bagimu” maka lebih-lebih bagi orang yang melihat tidak ada
keringanan baginya.
6. Dalil Keenam : Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hatim dan Ibnu Hibban dalam hadits shahihnya dari Abbas berkata, Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa mendengar adzan dan tidak ada udzur apapun
yang menghalanginya dari keikutsertaannya.” Mereka berkata, “Udzur apa?”
Nabi saw bersabda, “Ketakutan atau sakit, maka shalat yang sudah
dilaksanakannya tidak akan diterima.”
Orang-orang yang tidak mewajibkannya berpendapat bahwa hadits ini mempunyai dua cacat:
a. Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dari Ma’ariku yang merupakn seorang budak dan ia lemah di kalangan mereka.
b. Kedua : Hadits itu diketahui dari Ibnu Abbas dan berhenti padanya, tidak sampai kepada Rasulullah saw.
Orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa: Qosim Ibnu Asbagh
dalam kitabnya berkata: Ismai’il bin Ishak al-Qadli telah menceritakan
kepada kami, Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, Syu’bah
menceritakan kepada kami, dari Habib bin (Abi) Tsabit, dari Said bin
Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Barang siapa mendengar adzan dan tidak menjawab, maka tidak punya pahala shalat kecuali karena adanya udzur.” dan cukuplah bagi Anda kebenaran hadits ini dengan isnad tersebut. [Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli 4/190]
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir Ali bin Abdul Aziz kepada kami, Amr
bin Auf menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami, dari
Syu’bah dari Huda bin Tsabit, dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas dengan
hadits yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah saw). [Hadits ini
diriwayatkan berdasarkan jalur riwayat Hasyim dari Syu'bah yang
dikeluarkan oleh Ibnu Hibban 2064 dari Baihaqi 3/174].
Mereka mengatakan Ma’arik yang merupakan seorang budak telah
meriwayatkan kepadanya Abi Ishak As-Sabi’i berdasarkan kemuliaannya.
Kalau mungkin tidak benar, dia akan mencabutnya, maka benar apa yang
datang dari Ibnu Abbas tanpa ada keraguan, yaitu bahwa riwaya tersebut
merupakan perkataan sahabat yang tidak dibantah oleh sahabat yang lain.
7. Dalil Ketujuh : Apa yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata, “Barang
siapa yang merasa senang untuk dipertemukan pada hari kiamat dalam
keadaan muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu yang selalu
diserukan (di-adzan-i), karena shalat-shalat itu termasuk jalan-jalan
petunjuk, dan sesungguhnya kalau engkau shalat di rumah-rumah kalian
seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau berjama’ah
berarti engkau meninggalkan sunnah Nabi kalian, kalau engkau
meninggakan sunnah Nabi berarti engkau sesat. Seseorang yang bersuci
kemudian memperbaiki kesuciannya, kemudian menuju masjid dari
masjid-masjid yang ada, tiada lain baginya kecuali Allah akan menulis
setiap langkahnya dengan kebaikan dan derajatnya ditingkatkan, dan
dilihangkan darinya kejelekan. Dan engkau telah menyaksikan orang-orang
yang tidak suka berjama’ah adalah orang yang munafik yang nyata
kemunafikannya. Dan tidaklah seseorang telah didatangi dan diberi
petujunjuk di antara dua orang sehingga ia berdiri di shaf (dalam shalat
berjama’ah). ” [Muslim dalam Al-Masajid dan Mawadi Al Shalah 654].
Dalam lafadz: “Sesungguhnya Rasulullah mengajari kita jalan untuk
mencapai hidayah, dan sesungguhnya salah satu jalan itu adalah shalat
di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan.” [Hadits ini diriwayatkan oleh riwayat Muslim sebagaimana dikemukakan sebelumnya].
Maka aspek pembuktiannya adalah: Bahwasanya meninggalkan jama’ah itu
merupakan salah satu tanda dari orang-oarng munafik yang nyata
kemunafikannya, dan tanda-tanda kemunafikan itu dengan (tidak
?)meninggalkan hal-hal yang disukai dan (tidak ?) melakukan yang
dibenci. Maka, orang yag mengamati tanda-tanda orang munafiq di dalam
sunnah, ia akan mendapatkannya baik meninggalkan yang wajib atau
mengerjakan yang haram. Pengertian ini telah ditegaskan dengan
perkataannya, “Barang siapa yang senang akan dipertemukan dengan
Allah pada hari kiamat dalam keadaan muslim, maka hendaknya menjaga
shalat lima waktu yang selalu dipanggil dengannya.” Orang yang
meninggalkannya dan yang shalat di rumahnya disebut orang yang
meninggalkan sunnah yang merupakan cara Rasulullah saw, yang selalu
dilaksanakannya dan syariatnya yang disyariatkan bagi ummatnya, dan
maksudnya bukan sunnah yang hanya dianjurkan melaksanakannya bagi yang
berkehendak saja, dan yang tidak berkehendak boleh meninggalkannya tidak
sesat dan tidak pula sebagai bagian dari tanda-tanda kemunafikn,
seperti meninggalkan shalat dhuha, shalat malam dan puasa sunnah senin
dan kamis.
8. Dalil kedelapan : Apa yang diriwayatkn Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abi Sa’id Al Khudzry, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika
mereka bertiga, maka hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi
imam, dan yang pling berhak menjadi imam adalah orang yang paling baik
bacaannya.” [Muslim dalam Al-Masajid wa Mawadli 627]. Dalil ini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan berjama’ah dan
perintahnya itu adalah wajib.
9. Dalil kesembilan :
Bahwa Rasulullah menyuruh seseorang yang shalat sendirian di belakang
shaf untuk mengulangi shalatnya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para
ahli sunnah, Abu Hatim ibnu Hibban dalam hadits shahihnya dan diperbaiki
At-Tirmidzi. [Ahmad 2/228, Abu Dawud 682, Turmudzi 230 dan 231, dan
dihasankan, Ibnu Majah1004, dan Ibnu Hibban 2198 dan 2199, semuanya
dalam masalah shalat].
Dari Ali bin Syaiban berkata, “Kami keluar hingga menghadap
Rasululllah saw dan kami mengucapkan sumpah setia kami kepada beliau
lalu kami shalat di belakang beliau.” Ia berkata, “Kemudian kami shalat
di belakangnya shalat yang lain lalu beliau mengqadha shalat, kemudian
beliau lihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf, kemudia ia
berhenti mendekatinya sampai ia menghadapinya kemudian berkata, “Ulangi
shalatmu, tidak shalat bagi seseorang yang shalat di belakang shaf”.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Hibban dan pada Riwayat Imama Ahmad diriwayatkan, “Saya
shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian Rasulullah saw melihat
seorang shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau berhenti sehingga
menemuinya dan bekata kepadanya, “Ulangi shalatmu, karena tidak ada
shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” [Ahmad
4/23, Ibnu Hibban 1003, dalam Az-Zawaid disebutkan, sanadnya shahih dan
rawi-rawinya dapat dipercaya, serta dibenarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah
1569]. Ibnu Mundzir berkata, “Hadits ini ditetapkan oleh Ahmad dan
Ishak.
Konteks dalil ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw membatalkan
shalat seseorang yang keluar dari shaf sedang ia dalam keadaan
berjama’ah dan menyuruhnya mengulangi shalatnya sedangkan beliau tidak
pernah shalat menyendiri kecuali di tempat yang khusus. Maka shalat
menyendiri dari jama’ah dan di luar tempat jama’ah adalah batal.
Dijelaskan olehnya bahwa batasan menyendiri adalah shalat sendirian,
kalaulah shalat sendirian itu sah, maka Rasulullah tidak akan menganggap
shalatnya tidak sah atau dianggap tidak ada. Oleh karena itu, beliau
menyuruh orang yang melakukan seperti itu untuk mengulangi shalatnya.
Pendapat orang-orang yang membatalkan wajibnya shalat berjama’ah
adalah sebagai berikut: Anda tidak mungkin menggunakan hadits itu
sebagai dalil kecuali setelah menetapkan batalnya shalat menyendiri
dibelakang shaf. Ini merupakan pendapat yang rancu yang bertentangan
dengan jumhur ulama, sementara ijma’ ulama telah menetapkan sahnya
shalat wanita sendirian di belakang shaf, dan Rasulullah didatangi
malaikat Jibril dan mengajarinya waktu-waktu shalat, Jibril maju dan
Rasulullah berdiri di belakangnya, dan orang di belakang Rasulullah,
kemudian shalat dzuhur ketika matahari bergeser dan mendatanginya ketika
bayangan seperti ukuran dirinya, dan melakukan seperti yang telah
dilakukannya, maka Malaikat Jibril maju ke depan dan Rasulullah saw di
belakangnya dan orang-orang di belakang Rasulullah saw. Hadits ini
diriwayatkan oleh An-Nasa’i. [An-Nasa'i dalam Al-Mawaqit 1/255].
Rasulullah pernah melakukan shalat di belakang Jibril dengan mengikutiya.
Mereka mengatakan: Abu Bakar pernah melakukan ihram menyendiri di
belakang shaf kemudian ia berjalan memasuki shaf dan Nabi saw tidak
menyuruh untuk mengulanginya. [Al-Bukhari dalam Adzan 783].
Mereka juga mengatakan: Ibnu Abbs telah melakukan ihram di sebelah
kiri Rasulullah saw, kemudian Rasulullah menariknya dan menempatkannya
di sebelah kanan Rasulullah [Al-Bukhari dalam Adzan 699, Muslim dalam
Shalat Al-Musafirin 763], dan Rasulullah tidak menyuruhnya untuk
mengulangi shalatnya, bahkan membenarkan ihramnya yang sendirian, dan
ini terjadi pada shalat nafl (sunnah). Dalam hadits Jabr dalam masalah
fardhu disebutkan bahwa ia berdiri di sebelh kiri Rasulullah, kemudian
ia menariknya dan menempatkannya di sebelah kanannya. [Muslim dalam
Al-Zuhud wa Al-Raqa'iq dari haditsny yang panjan 3010].
Kemudian orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa yang
menarik dari pertentangan terhadap hadits-hadits yang shahih dan yang
jelas seperti itu adalah tidak adanya pertentangan antara hadits-hadits
itu dari segi apapun.
Adapun pendapat kalian: Sesungguhnya ini adalah pendapat yang keliru
dan rancu. Apakah hal ini bukan sesuatu yang rancu, sementara dalam diri
Rasulullah saw terdapat sunnah-sunnahnya yang shahih dan jelas,
meskipun ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggalkannya,
meninggalkan sunnah-sunnah tersebut bukan berarti hal-hal tersebut tidak
diketahui oleh orang-orang yang meninggalkannya, atau semacam ta’wil
yang membolehkan untuk meninggalkannya bagi yang lainnya.
Maka, bagaimana mendahulukan seorang yang meninggalkan sunnah? Ini
telah disebutkan oleh mayoritas dari kalangan pemuka tabi’in, mereka
adalah Sa’id bin Jubair, Thawus, Ibrahim An-Nakha’i, dan yang lainnya
seperti Hikam, Hamad, Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Waki’, dan juga
Al-Auza’i – diceritakan oleh Thahawy – Ishak bin Rahawiyah, Imam Ahmad,
Abu Bakar bin Mundzir, dan Muhammad bin Ishak bin Huzaimah. Maka mana
letak kerancuan itu, sementara mereka mengatakan hal itu adalah sunnah?
Adapun bantahan Anda mengenai posisi wanita, maka itu adalah bantahan
yang paling rusak, karena itu merupakan posisi wanita yang telah
disyariatkan baginya, sehingga kalau sampai seorang perempuan berada di
shaf laki-laki maka hal itu akan merusak shalat laki-laki yang berada di
belakang wanita itu sebagaimana dikemukakan Abu Hanifah, dan salah satu
dari dua pendapat itu ditemukan pada mazhab Ahmad.
Dikatakan juga bahwa kalaulah seorang wanita berdiri sendirian di
belakang shaf wanita, maka sah shalatnya. Pendapat lain menyebutkan,
Bukan seperti itu, tetapi seandainya seorang wanita berdiri sendiri di
belakang shaf wanita yang lain, maka shalatnya tidak sah seperti halnya
laki-laki menyendiri di belakang shaf laki-laki, demikian menurut Qadhi
Abu Ya’la dalam tanggapannya, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,
“Tidak ada shalat bagi seseorang yang shalat di belakang shaf”.
Dari hadits ini dipahami seandainya seorang wanit berdirian sendirian
di belakang shaf laki-laki, maka shalatnya sah, tetapi tidak demikian
jika ia menyendiri dari shaf wanita lainnya, hadits ini berlaku secara
umum.
Adapun tentang kisah shalat Rasulullah saw di belakang Jibril, dan
para sahabat di belakangnya, maka jawaban mengenai hal ini adalah bahwa
kisah itu telah terjadi pada masa awal diperintahkannya shalat, yaitu
ketika Jibril mengajari waktu-waktu shalat, sedangkan kisah Rasulullah
saw yang memerintahkan kepada seseorang yang shalat di belakang shaf
sendirian untuk mengulanginya pada masa belakang setelah kisah Jibril,
maka itu adalah jawaban yang benar.
Menurutku masih ada jawaban yang lainnya, yaitu bahwa sesungguhnya
Nabi saw pada waktu itu adalah Imam kaum muslimin, maka beliau berdiri
di hadapan kaum muslimin. Beliau sendiria disempurnakan oleh Jibril, dan
pada saat itu Jibril a.s lebih depan dengan tujuan agar lebih berhasil
mengajari Nabi saw dibandingkan seandainya dia berdiri di samping Nabi
saw. Sebagaimana Nabi saw pernah shalat bersama kaum muslimin, dan
beliau berdiri di atas mimbar, dengan tujuan agar mereka (kaum muslimin)
bisa melihat kesempurnaan shalat yang dilakukan beliau, dan agar mereka
mengambil pelajaran (mencontohnya) shalatnya. Hal itu dilakukan dengan
tujuan mendidik, dan beliau tidak melarang seseorang yang menjadi imam
bagi orang lain, berdiri pada tempat yang lebih tinggi dari mereka
(makmum).
Mengenai kisah Abu Bakar, kisah tersebut bukan menceritakan bahwa
beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ sebelum beliau memasuki shaf
(barisan shalat), tetapi semata-mata beliau menahan dengan cara seperti
itu agar bisa tetap tegak dalam ruku’, dan tidak ada cara lain yang bisa
dia lakukan selain dengan cara seperti itu.
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan
dari Imam Ahmad, tentang orang yang melakukan ruku’ sebelum masuk dalam
shaf, kemudian dia berjalan sambil ruku’ sebelum masuk shaf, setelah
imam mengangkat kepalanya dari ruku’. Dalam masalah ini ada tiga
pendapat, yaitu:
Pertama, Hal itu dianggap sah secara mutlak, alasannya
berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Nabi saw tidak
memerintahkan untuk mengulang shalatnya, dan tidak memintanya untuk
menjelaskan apakah dia memasuki shaf sebelum mengangkat kepalanya dari
ruku’ atau tidak, seandainya hal ini dianggap menyalahi, maka Nabi saw
akan meminta penjelasan kepadanya.”
Sa’id bin Manshur dalam kitab sunannya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Sesungguhnya
dia melakukan ruku’ sebelum memasuki shaf, kemudian berjalan sambil
ruku’ dan melakukannya berulang, sehingga dia dapat memperkirakan sudah
sampai kepada shaf atau tidak.” (Imam Malik “Al-Muwaththa” 1/165, Ath-Thahawi “Syahru Ma’anil Atsar” 1/398, dan Al Baihaqi “As-Sunanul Kubra” 2/90).
Kedua, Sesungguhnya hal itu tidak sah, berdasarkan nash
hadits riwayat Ibrahim bin Harits dan Muhammad bin Hakam, dia membedakan
antara orang yang melakukan ruku’ sebelum memasuki shaf dengan orang
yang yang melakukan ruku’ di dalam shaf, karena orang yang tidak
melakukan ruku’ dalam shaf dianggap tidak dihitung raka’atnya. Hal ini
disamakan dengan orang yang melakukan ruku’ padahal imam sudah sujud.
Menurut sebagian para sahabt hadits ini shahih.
Ketiga, seandainya dia tahu bahwa hal itu dilarang, maka
shalatnya dianggap tidak sah, jika tidak mengetahui, maka shalatnya
dianggap sah berdasarkan sikap Abu Bakar, dan sabda Nabi saw, “Kamu tidak perlu mengulanginya”. Larangan
itu apabila adanya kerusakan, akan tetapi hal itu dihilangkan kepada
orang yang bodoh, dengan tidak diperintahkan mengulanginya, dan keadaan
semacam inilah yang dialami Abu Bakar.
Adapun kisah Ibnu Abbas dan Jabir dalam meninggalkan urusan keduanya
dengan memulai shalat, dan keduanya takbiratul ihram secara terpisah.
Hal ini pertama-tama dilakukan bukan ketika keduanya telah melakukan
shalat, tetapi keduanya berdiri disamping Rasulullah saw, kemudian
Rasulullah saw memindahkan keduanya di saat permulaan berdiri keduanya.
Seandainya diperkirakan bahwa takbiratul ihram yang dilakukan keduanya
seperti itu, maka orang yang melakukan takbiratul ihram sendirian,
takbiratul ihram dianggap sah, dan dimasukkan dalam shalat, akan tetapi
dia melakukannya setelah ruku’, sehingga yang dihitungan adalah ruku’nya
itu sendiri. Akan tetapi yang satu lagi tidak seperti itu, orang lain
yang berdiri bersamanya itu melakukan takbiratul ihramnya sebelum ruku’ ,
sehingga shalatnya dianggap sah. Seandainya kita menganggap bahwa
takbiratul ihramnya dua makmum itu harus serempak dalam memulai takbir
dan mengakhirinya, maa seseorang tidak akan melakukan takbiratul ihram,
sehingga harus sepakat terlebih dahulu dengan orang ada disampingnya.
Hal ini merupakan perbuatan yang dirasakan sangat berat dan menyusahkan.
Dengan demikian maka tidak ada seorangpun yang menganggapnya. Hanya
Allah Yang Maha Mengetahui.
10. Dalil kesepuluh :
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sunannya,dan Imam
Ahmad dalam kitab Musnadnya, dari haditsnya Abi Darda, dia berkata, “Rasulullah
saw bersabda, “Tiada terdapat tiga orang berkumpul di kampung yang
tidak dikumandangkan adzan dan tidak didirikan shalat berjama’ah,
melainkan mereka telah dijajah oleh Syaithan, maka kerjakanlah olehmu
shalat berjama’ah, karena serigala itu hanya dapat menerkam binatang
(kambing) yang terpisah jauh dari kawan-kawannya.” (Abu Dawud “Bab Shalat” 574, Imam Ahmad 5/196, dan An-Nasa’i “Bab Imamah” 2/106-107).
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits tersebut: sesungguhnya
Rasulullah saw mengabarkan tentang menguasainya syaithan kepada mereka
dengan sebab meninggalkan shalat berjama’ah yang ditandai dengan adzan
dan iqamah. Seandainya shalat berjama’ah itu dianggap sunat sehingga
seseorang boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka
tentu syaithan tidak akan menguasai orang yang meninggalkan shalat
berjama’ah, dan yang meninggalkan tanda-tanda shalat berjama’ah
tersebut.
11. Dalil kesebelas :
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan beliau menganggap hadits
ini shahih, dari haditsnya Abi Sya’tsail Maharibi, dia berkata, “Kami
duduk di masjid, kemudian seorang muadzin mengumandangkan adzan.
Seorang laki-laki berdiri dan berjalan keluar dari masjid, kemudian
pandangan Abu Hurairah mengikutinya sampai orang tersebut keluar dari
masjid. Abu Hurairah berkata, “Orang itu benar-benar telah berdosa
kepada Abal Qasim (Rasulullah saw).” Dalam satu riwayat dikatakan, “Saya
mendengar Abu Hurairah berkata ketika dia melihat seseorang yang dengan
tergesa-gesa keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan: “Orang
itu benar-benar telah berdosa kepada Abal Qasim (Rasulullah saw). Sebagaimana kedua hadits ini telah dikemukakan dalam pembahasan hukum shalat berjama’ah.
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits ini adalah sesungguhnya Abu
Hurairah telah mengkatagorikan orang tersebut berdosa kepada Rasulullah
saw disebabkan dia keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan,
karena dia meninggalkan shalat berjama’ah. Barangsiapa yang mengatakan
bahwa shalat berjama’ah itu sunat, maka Abu Hurairah tidak akan
menganggap orang yang keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
dan dia shalat sendiri itu telah berdosa kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Mundzir telah berhujah (berargumentasi) dengan hadits ini dalam
kitabnya. Ketika dia membahas kewajiban shalat berjama’ah dan dia
berkata, “Seandainya seseorang itu bebas memilih dalam meninggalkan
shalat berjama’ah atau melakukannya, maka Abu Hurairah tidak akan
menganggapnya telah berdosa orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak
diwajibkan kepadanya untuk melakukannya. Dan orang yang mengatakan bahwa
shalat berjama’ah itu sunat, jika dia mau lakukan dan jika dia tidak
mau tinggalkan, maka seseorang akan diperbolehkan keluar dari masjid
setelah muadzin mengumandangkan adzan dan iqamah, bahkan dia akan
diperbolehkan duduk tanpa melakukan shalat berjama’ah dengan imam dan
jama’ah yang lainnya, maka apabila mereka mendirikan shalat, dia boleh
shalat sendirian. Namun seandainya Rasulullah saw dan para sahabatnya
melihat orang yang melakukan perbuatan semacam ini, maka beliau dan para
sahabatnya benar-benar akan melarangnya. Bahkan beliau telah
mengingkari (melarang) perbuatan yang masih di bawah perbuatan itu,
yakni beliau melarang seseorang yang tidak mau melakukan shalat
berjama’ah, karena sudah merasa cukup dengan shalat yang dia lakukan
ketika dalam perjalanan, Beliau bersabda, “Apa yang menghalangi kamu shalat bersama kami? bukankah kamu seorang muslim?”. Sebagaimana hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Rasulullah saw telah memerintahkan shalat berjama’ah kepada orang
yang telah melakukan shalat sendirian, kemudian dia datang ke masjid
yang sedang dilakukan shalat berjama’ah. Beliau bersabda, “Jika kamu
berdua telah melakukan shalat dalam perjalanan kamu berdua, kemudian
kamu berdua mendatangi suatu masjid yang di dalamnya sedang dilakukan
shalat berjama’ah, maka shalatlah kamu berdua beserta jama’ah yang
lainnya, karena shalat tersebut bagi kamu menjadi shalat sunnat. ” (At-Turmudzi
“Bab Shalat” 219, beliau menganggap hadits ini hasan shahih, An-Nasai
“Bab Imamah” 2/112-113 dan Imam Ahmad 4/160-161).
12. Dalil keduabelas : Ijma’ para sahabat r.a. dan kami akan mengungkapkan tentang nash kesepakatan tersebut, Yaitu:
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud telah kami kemukakan, kami
berpendapat bahwa tidak ada yang menolak perkataan Ibnu Mas’ud itu
selain orang munafik yang benar-benar telah diketahui kemunafikannya.
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, Sulaiman
bin Al-Mughirah telah menceritakan kepada kami, dari Abu Mus Al-Hilali,
dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan
shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi pangilan tersebut itu tanpa
alasan syar’i, maka tidak ada shalat baginya.” (Ibnu Hazm, dalam “Al-Mahali” 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami, Mas’ar
telah menceritakan kepada kami, dari Abi Al-Hushain, dari Ai Burdah,
dari Abi Musa Al-Asy’ari, dia berkata, “Barangsiapa yang mendengar
panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi panggilan
tersebut, maka tidak ada shalat baginya”. (Hadits riwayat Al-Hakim
1/246, dia telah menshahihkan hadits ini, Imam Adz-Dzahabi dan Imam
Baihaqi telah menyepakatinya sebagai hadits marfu’ (sanadnya sampai
kepada Nabi saw) dan mauquf(sanadnya sampai kepada sahabat) 3/174 dan
lihat kitab “Majmu’uz Zawaid” 2/32).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan
dari Abi Hayan at-Taimi dari bapaknya dari Ali r.a, dia berkata, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid“. Dikatakan, “Siapakah yang dimaksud dengan orang yang bertetangga dengan masjid itu?” Ali menjawab, “Orang yang mendengar panggilan shalat (adzan)”. (Hadits
Riwayat Abdur Razzaq 1/497, Baihaqi 3/57 dan 174, dan Al-Hafizh telah
mendha’ifkan hadits tersebut dalam kitab “Takhlishul Habir” 2/32).
Sa’id bin Manshur berkata, Hasyim telah menceritakan kepada kami,
Manshur telah mengabarkan kepada kami dari Hasan bin Ali, dia berkata, “Barangsiapa
yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak
mendatanginya, maka shalatnya tidak akan melewati kepalanya (tidak akan
diterima), kecuali bagi orang yang mempunyai alasan syar’i.”
Abdur Razzaq berkata, dari Anas, dari Abi Ishaq, dari Harits, dari Ali, dia berkata, “Barangsiapa
yang mendengar panggilan shalat (adzan), dan dia termasuk orang yang
bertetangga dengan masjid serta dalam keadaan sehat, tidak ada alasan
syar’i, maka tidak ada shalat baginya (kecuali di masjid).” (Abdur Razzaq 11/498, Ad-Daaruquthni 1/420 dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki’ berkata, Dari Abdir Rahman bin Hushain, dari Abi Najih Al Maki, dari Abi Hurairah, dia berkata, “Dua
telinga keturunan Adam yang dimasuki peluru yang menyakitkan lebih baik
daripada orang yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak
memenuhi panggilan tersebut.” (Al-Mahali 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan
dari Manshur dari ‘Adi bin Tsabit dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin r.a. dia
berkata, “Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan)
kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan
syar’i, maka dia tidak menemukan kebaikan dan dia tidak termasuk orang
yang menghendaki kebaikan tersebut”. (Abdur Razzaq 1/498, dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki’ berkata, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari ‘Adi bin
Tsabit, dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Barangsiapa
yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi
panggilan tersebut tanpa adanya alasan syar’i, maka tidak ada shalat
baginya.” (Ibnu Majah 793, Ibnu Hibban 2064, Ad-Daruquthni 1/420, dan Al-Baihaqi 3/57).
Apakah Berjama’ah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak.
Apakah berjama’ah itu merupakan syarat sah shalat atau tidak? Dalam
menanggapi pertanyaan tesebut, terdapat dua pandangan yang tepat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu
hukumnya fardhu (kewajiban), dan berdosa meninggalkannya. Dan beban itu
baru akan terlepas dengan melakukan shalat berjama’ah itu sendiri.
Pendapat ini banyak dianut oleh para ulama mutaakhirin dan dari para
pengikut Imam Ahmad. Dalam masalah ini Imam Ahmad bertitik tolak pada
pendapat Imam Hanbal yang mengatakan bahwa, “Memenuhi panggilan shalat
itu hukumnya fardhu.” Seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa,
“Hal itu hukumnya sunnat, dan saya melakukannya di rumahku, seperti
shalat witir dan lain-lain. ” Maka hal ini bertentangan dengan hadits,
dimana melakukan shalat witir dan shalat sunnat lainnya hukumnya boleh.
Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan
Az-Za’farani di dalam kitab Al-Iqna’, yang mengatakan bahwa, “Berjama’ah
itu merupakan syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya orang yang
melakukannya sendirian.” Sebagimana telah diceritakan Al Qadhi dari
sebagian para sahabat. Dan hal ini telah dipilih oleh Abul Wafa bin
‘Aqil dan Abul Hasan At-Tamimi. Dan pendapat tersebut adalah pendapatnya
Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazam berkata, “Pendapat tersebut
adalah pendapat seluruh pengikut aliran kami.” (Al Mahali 4/196)
Dan kami akan mengungkap argumentasi kedua pendapat tersebut:
Orang-orang yang mensyaratkan berjama’ah dalam shalat berkata,
“Seluruh dalil yang telah kami sebutkan yang menerangkan tentang
kewajiban bejama’ah, menunjukkan bahwa berjama’ah itu merupakan syarat
sah dalam shalat. Karena apabila berjama’ah merupakan kewajiban, maka
meninggalkannya bagi para mukallaf (akil baligh) menyebabkan dia masih
dalam ikatan kewajiban tersebut (harus melakukannya).
Mereka berkata, “Seandainya shalat itu dianggap sah tanpa berjama’ah,
maka para sahabat Rasulullah saw tidak akan berkata, “Tidak ada shalat
baginya (yang tidak berjama’ah).” Dan seandainya shalat itu sah tanpa
berjama’ah, maka Rasulullah saw tidak akan bersabda, “Barangsiapa yang
mendengar seruan adzan, kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut,
maka shalat yang dia lakukan tidak akan diterima.” Ketika diterimanya
shalat itu dikaitkan dengan berjama’ah, maka hal itu menunjukkan kepada
syarat sahnya shalat. Sama halnya dengan ketika diterimanya wudhu itu
dikaitkan dengan keharusan bersuci dari hadats, maka hal itu secara
otomatis menjadi syarat sahnya wudhu.”
Mereka berkata, “Dan tidak diterimanya itu, baik karena tidak
dilakukannya satu rukun atau satu syarat, tidak secara otomatis menolak
diterimanya shalat dari seorang hamba yang sedang melarikan diri. Dan
shalatnya peminum khamar (minuman keras) tidak diterima selama empat
puluh hari, terhalangnya diterimanya shalat pada orang tersebut
disebabkan perbuatannya yang melakukan hal yang diharamkan, yang
menyertai shalat, maka menjadi batal pahala shalatnya.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalatnya orang yang munfarid (shalat
sendiri), tentu Ibnu Abbas tidak akan berkata, “Sesungguhnya dia (orang
yang melakukan shalat sendirian) akan masuk neraka.”
Mereka berkata, “Seandainya sah shalat orang yang melakukan shalat
sendiri, tentu berjama’ah itu tidak akan diwajibkan. Dan hanya sah
ibadah seorang hamba itu apabila melakukan hala-hal yang diperintahkan
kepadanya. Dan dalil-dalil yang mewajibkan tentang itu secara lengkap
telah kami kemukakan.”
Adapun kelompok yang menolak pendapat tersebut di atas, terbagi ke dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya sunnat.
Jika berkehendak, kerjakan, dan jika tidak berkehendak, tinggalkan.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu hukumnya fardhu’
kifayah. Jika ada suatu kelompok yang mengerjakannya, maka gugurlah
kewajiban tersebut dari yang lainnya.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa berjama’ah itu fardhu ‘ain. Namun
demikian masih dianggap sah shalat yang tidak dilakukan secara
berjama’ah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari haditsnya Ibnu Umar, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendiri dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat.” (Al Bukhari “Al-Adzan” 645, dan Muslim “Al-Masajid” 650).
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari Abi Hurairah dari Nabi saw, “Shalat
seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan dari shalat
sendirian di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Yang
demikian itu karena jika seseorang menyempurnak wudhu, kemudian dia
keluar menuju masjid untuk melakukan shalat, tiada dia melangkahkan kaki
selangkah melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya
satu dosa, dan bila ia shalat, selalu dido’akan oleh para malakaikat
selamat dia berada di tempat shalatnya itu tidak berhadats, Malaikat
berdoa’a, Allahumma sholli ‘alaihi, Allahummar hamhu, Ya Allah limpahkan
rahmat kepadanya, Ya Allah kasihinilah dia. Dan dia tetap dianggap
shalat selama dia menantikan shalat.” (Al-Bukhari “Al-Adzan” 647 dan Muslim “Al-Masajid” 649).
Mereka berkata, “Seandainya shalat sendiri itu dianggap batal, maka
tidak akan ada perbandingan keutamaan antara shalat sendiri dengan
shalat berjama’ah, karena tidak logis membandingkan antara yang sah
dengan yang batal.”
Mereka berkata, “Dalam shahih Muslim dari haditsnya Utsman bin Affan, sesungguhnya Nabi saw telah bersabda, “Barangsiapa
yang melakukan shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia
melakukan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh
berjama’ah, maka seakan-akan dia shalat sat malam penuh.”(Muslim “Al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah” 656).
Mereka berkata, “Maka telah diserupakan pelaksanaan shalat berjama’ah
dengan sesuatu (shalat) yang bukan wajib, dan hukum yang ada dalam
perbuatan yang diserupakan seperti hukum yang ada dalam perbuatan yang
diserupai, atau tanpa adanya penyerupan hukum dengan tujuan sebagai
penguat (ta’kid).”
Mereka berkata, “Yazid bin Al-Aswad, dia berkata, “Saya hadir
bersama Nabi Saw dalam suatu keperluan, kemudian saya shalat Subuh
bersama beliau di masjid Khaif (di Mina), setelah selesai shalat beliau
berpaling ke belakang, dan beliau melihat ada dua orang yang tidak
melakukan shalat, di belakang suatu kaum, kemudian beliau memanggil
keduanya, dan keduanya menghadap beliau dalam keadaan gemetar
daging rusuknya. Beliu bersabda kepada mereka, “Apa yang menghalangi
kamu berdua shalat bersama kami?” Mereka menjawab, “Kami telah shalat di
tempat kami.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu berbuat demikian.
Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian kamu bertemu imam
yang belum shalat, maka hendaklah amu shalat bersamanya, karena yang
demikian itu jadi (shalat) sunnat buatmu.” (An-Nasa’i “Al-Imamah”
2/112-123, Abu Dawud “Al-Shalat” 575, dan At-Turmudzi “Shalat” 219, dan
beliau menganggap hadits tersebut).
Mereka berkata, “Seandainya tidak sah shalat yang pertama (shalat dua
orang tersebut di atas, yang dilakukan di tempat tinggalnya), tentu
shalat yang kedua tidak akan dianggap sebagai shalat sunnat.”
Dari Mahjan bin Al-Adra’, dia berkata, “Saya datang kepada
Rasulullah saw dalam waktu shalat, kemudian beliau shalat dan saya tidak
shalat. Beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu tidak shalat?” Saya
menjawab, “Ya Rasulullah, say telah shalat dalam perjalanan, setelah itu
saya datang kepadamu.” Beliau bersabda, “Apabila kamu datang, maka
shalatlah kamu beserta mereka dan jadikanlah shalatmu itu sebagai shalat
sunnat.” (H.R Imam Ahmad). Sebagaimana hadits tersebut telah dikemukakan sebelumnya.
Dalam satu pokok bahasan telah dikemukakan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Abi Dzar, dan Abdullah bin Umar. Dalam hadits Ibnu
Umar dikatakan, “Dari Sulaiman seorang budak yang dimerdekakan oleh
Maimunah, dia berkata, “Saya mendatangi Ibnu Umar yang sedang duduk di
ubin, sedangkan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Saya
berkata, “Apa yang menghalangi engkau shalat bersama orang-orang?” Dia
menjawab, “Sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Janganlah kalian shalat dua kali dalam satu hari untuk satu shalat.” (Abu
Dawud “Al-Shalat” 579, An-Nasa’i “Al-Imamah” 2/114, Ahmad 2/19 dan
Ahmad Syakir telah menshahihkan hadits tersebut 4689. Pengertian yang
dimaksud: Mengulangi satu shalat dengan dua kali berjama’ah).
Kelompok yang mewajibkan berjama’ah berkata, “Keutamaan itu tidak
mengharuskan lepasnya tanggungan (kewajiban) dari segala segi, baik
bersifat mutlak atau bersifat membatasi. Karena keutamaan itu merupakan
hasil perbandingan antara yang diunggulkan dengan yang diungguli dari
segala segi. Seperti firman Allah, أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ يَوۡمَٮِٕذٍ خَيۡرٌ۬ مُّسۡتَقَرًّ۬ا وَأَحۡسَنُ مَقِيلاً۬ ”Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24). Dan firman Allah ta’ala, قُلۡ أَذَٲلِكَ خَيۡرٌ أَمۡ جَنَّةُ ٱلۡخُلۡدِ “Katakanlah, Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik atau surga yang kekal…” (Al-Furqan: 15). Dan masih banyak firman Allah yang semacam itu.
Keberadaan shalat sendiri itu merupakan satu bagian dari dua puluh
tujuh bagian dari shalat secara keseluruhan, yang tidak bisa
menggugurkan kefardhu’an shalat berjama’ah. Dan keberadaan shalat
berjama’ah yang dianggap perbuatan sunnat, hanya merupakan satu segi
dari beberapa segi yang ada pada shalat berjama’ah. Tujuannya adalah
melaksanakan kewajiban keduanya dan diantara keduanya itu ada keutamaan
yang dikandung oleh keduanya. Dua orang laki-laki yang berdiri dalam
shaf (barisan shalat) yang sama dan diantara shalat keduanya itu
terdapat yang lebih utama, laksana antara langit dan bumi.
Dalam beberapa kitab Sunan diungkapkan dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya
seseorang yang melakukan shalat, maka pahalanya tidak ditulis baginya
kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, sepertlimanya,
sehingga mencapai sepersepuluhnya.” (“Al-Musnad” 4/319 dan 321, Abu
Dawud “Al-Shalat” 796, An-Nasa’i dalam kitab Al-Kubra dari Tuhfatul
Asyraf 10356 dan Ibnu Hibban “Al-Shalat” 1889).
Jika kita menganalisa dua orang yang sama-sama melakukan shalat
fardhu, dimana shalat salah seorang di antara keduanya itu lebih utama
dari shalat yang lainnya dengan perbandingan sepuluh pahala, padahal
keduanya sama-sama melakukan shalat fardhu. Begitu juga perumpamaan
shalat sendiri dengan shalat berjama’ah.
Lebih jauh Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada bagian (pahala)
dari shalatmu, kecuali apa yang engkau pikirkan (mengerti) dari
shalat itu, apabila seseorang shalat dan dia tidak mengerti dari
shalatnya itu, maka dia hanya mendapatkan satu bagian, dan pahala
baginya sesuai dengan ukuran yang satu bagian itu, walaupun dia terlepas
dari beban (kewajiban). Begitu juga dengan shalat yang dilakukan
sendirian, baginya hanya mendapat satu bagian (pahala), walaupun dia
terlepas dari beban (kewajiban) shalat.”
Perumpamaan shalat tersebut, oleh pembuat syara’ (Allah) tidak
dinamakan dengan sah. Hal itu hanya diistilahkan oleh para fuqaha (ahli
hukum Islam). Karena keabsahan yang mutlak itu adalah terciptanya
pengaruh dari suatu perbuatan dan tercapainya apa yang dikehendaki. Hal
ini telah meniadakan pengaruhnya yang sangat besar dan tidak tercapainya
apa yang dikehendaki secara jelas. Dengan demikian maka hal itu
dianggap jauh sekali dari kebenaran dan kesempurnaan, yaitu dengan
ketentuan terhindarnya dari siksaan, kalaupun perbuatan itu menghasilkan
sesuatu berupa pahala, namun hanya satu bagian. Hal ini semata-mata
ucapan orang-orang yang tidak mau menjadikan berjama’ah itu sebagai
syarat sah shalat.
Adapun orang-orang yang menjadikan berjama’ah itu sebagai syarat sah
shalat dan tidak sah shalatnya seseorang yang tidak berjama’ah. Maka
jawabannya adalah keutamaan itu ada apabila yang dibandingkan itu antara
dua shalat yang sah. Dan shalat seseorang yagn dilakukan sendirian, hal
itu baru dianggap sah apabila adanya alasan-alasan syar’i. Adapun
apabila tidak ada alasan syar’i maka shalatnya dianggap tidak sah.
Sebagaimana telah dikatakan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Seandainya mereka menganggapi pernyataan tersebut di atas, mereka akn
menampakkan kembali pertentangannya, dengan mengatakan bahwa,
“Sesungguhnya orang yang terkena alasan syar’i, tetap baginya
mendapatkan pahala yang sempurna.” Mereka akan menjawab dengan
mengatakan, “Sesungguhnya dia itu tidak berhak mendapatkan pahala yang
sempurna dari segi perbuatannya kecuali hanya mendapat satu bagian
pahala.” Adapun kesempurnaan pahala itu bukan dilihat dari segi
perbuatannya, tetapi dilihat dari segi niatnya. Jika dia terbiasa shalat
berjama’ah, kemudian dia sakit atau dipenjara atau sedang berpergian
dan dia tidak bisa melakukan berjama’ah karena adanya alasan syar’i
tersebut. Dengan demikian maka sempurnalah pahala baginya. Padahal
shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalatnya itu apabila dilihat
dari segi kedua perbuatan itu.
Mereka berkata, “Hal ini sudah pasti dan tidak bisa ditawar-tawar
lagi, karena nash-nash hadits shahih sangat jelas sekali, bahwa tidak
ada shalat bagi orang yang mendengar seruan adzan, kemudian dia shalat
sendirian. Maka yang dimaksud dengan baginya mendapat satu bagian pahala
itu bagi orang yag melakukan shalat sendiri karena adanya alasan
syar’i?”
Mereka berkata, “Allah ta’ala mengutamakan orang yang mampu
melaksanakan dari orang yang tidak mampu, walaupun Allah tidak sampai
menyiksanya. Hal itu semata-mata karena Allah memberikan keutamaan itu
kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Dalam shahih Bukhari dari Imran bin Hushain, dia berkata, “Saya
bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat seseorang yang dilakukan
dambil duduk. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat
sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang melakukannya
sambil dudu, maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri, dan
barangsiapa yang melakukannya sambil tiduran, maka baginya setengah
pahala dari pahala orang yang duduk.” (Bukhari “Mengqoshor Shalat” 1115).
Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang melakukannya karena adanya
alasan-alasan syar’i. Jika tidak ada alasan syar’i, maka ia tidak akan
mendapatkan pahala sedikitpun. Apabila shalat yang dilakukannya shalat
sunnat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sunnat. Karena tidak
pernah satu hari pun dalam setahun Rasulullah saw dan para sahabat Nabi
saw yang nota bene senang melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan,
tidak pernah melakukan hal itu. Oleh karena itu mayoritas ulama melarang
sambil tiduran kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sambil
duduk. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda kepada Imran, “Shalatlah duduk, jika kamu tidak mampu, maka lakukanlah sambil tiduran.”
(Bukhari 1117). Imran bin Hushain ini adalah perawi kedua hadits
tersebut dan dia juga yang menanyakan kedua permasalahan tersebut kepada
Nabi saw.
Adapun argumentasi kamu yang bertitik tolak dari haditsnya Utsman bin Affan, “Barangsiapa yang shalat Isya dengan berjama’ah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam.”
Termasuk argumentasi yang cacat. Dan nampak sekali dalil yang
bertentangan bagi kamu seperti dalam gambaran sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa
yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan ditambah dengan enam hari dari
bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh.” (Muslim
“Puasa” 1164, At-Turmudzi “Puasa” 759, Ibnu Hibban “Puasa” 1716 dan Abu
Dawud “Puasa” 2433 dan lafadz hadits tersebut di atas adalah lafadznya
Abu Dawud). Puasa setahun penuh itu bukan wajib. Telah diserupakan
perbuatan (puasa setahun) itu dengan puasa yang wajib. Bahkan yang benar
itu adalah sesungguhnya berpuasa setahun penuh itu hukumnya adalah
makruh. Dengan demikian telah diserupakan puasa yang makruh (puasa
setahun penuh) dengan puasa yang wajib (puasa Ramadhan). Maka tidak
dilarang menyerupakan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang disunnatkan
dari segi pelipatgandaan pahala terhadap sesuatu yang wajib yang
sedikit sehingga pahala dari perbuatan wajib yang sedikit itu mencapai
(sama) dengan pahala perbuatan sunnat yang banyak.
Begitu juga argumentasimu yan bertitik tolak kepada haditsnya Yazid
bin Al-Aswad, Mahjan bin Al-Adra’, Abi Dzar dan Ubadah. Sebenarnya tidak
ada satupun diantara mereka yang mengemukakan bahwa, “Sesungguhnya
seseorang telah shalat sendirian, padahal dia mampu melakukan shalat
berjama’ah.” Seandainya hal itu dikabarkan kepada Nabi saw, maka beliau
tidak akan menetapkannya, dan beliau akan mengingkarinya. Begitu juga
Ibnu Umar tidak pernah mengatakan, “Saya shalat sendiri, padahal saya
mampu melakukan shalat berjama’h.”
Dapat kami katakan bahwa Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan shalat
berjama’ah di saat dia bisa melakukannya. Dan kami katakan sebagaimana
para sahabat Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya tidak ada shalat
baginya.” Seandainya mereka itu melakukan hal itu, maka harus dilihat
dari dua segi. Pertama, sesungguhnya mereka melakukan shalat
berjama’ah dengan jama’ah lain, di luar jama’ah yang biasa mereka
lakukan. Atau hal itu mereka lakukan karena adanya alasan-alasan syar’i
pada saat datangnya waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat
sendirian karena ada alasan syar’i kemudian alasan syar’i itu hilang
setelah selesai melakukannya (shalat), maka dia tidak perlu mengulangi
shalatnya. Sebagaimana tidak perlu mengulang shalatnya kalau seseorang
shalat dan bersuci (berwudhu’)-nya dengan ta’yamum, atau seseorang yang
shalat sambil duduk karena sakit, kemudian alasan-alasan syar’i tersebut
hilang setelah selesai melakukan shalatnya. Begitu juga tidak perlu
mengulang shalat orang yang melakukan shalat dalam keadaan telanjang dan
setelah selesai shalat dia menemukan penutup aurat.
Mereka berkata, “Hukum-hukum syara’ (agama) telah menunjukan bahwa
shalat berjama’ah itu hukumnya fardhu bagi setiap orang. Hal ini dapat
kita lihat dari beberapa segi:
Pertama, sesungguhnya menjama’ shalat karena alasan tujuan
hukumnya jaiz (diperbolehkan), hal ini semata-mata untuk menjaga
berjama’ah. Jika bukan ditujukan untuk menjaga berjama’ah, maka sangat
mungkin sekali setiap orang yang ada di rumah melakukan shalat dengan
sendiri-sendiri. Seandainya shalat berjama’ah itu hukumnya sunnat, maka
tidak diperbolehkan meninggalkan yang wajib, dan mendahulukan shalat
(jama’ taqdim) hanya karena pertimbangan semata-mata.
Kedua, sesungguhnya orang yang sakit yang tidak mampu
berdiri dan dalam shalat berjama’ah dan dia mampu berdiri dalam shalat
sendirian, maka shalatlah dia dengan berjama’ah walaupun tidak sambil
berdiri. Mustahil sekali meninggalkan satu rukun shalat, hanya karena
pertimbangan sunnat semata-mata.
Ketiga, sesungguhnya shalat berjama’ah dalam kondisi
ketakukan dilakukan dengan cara mafaraqah (berpisah dari shalatnya) imam
dan mereka (si makmum) melakukan beberapa hal (perbuatan) dalam shalat
tersebut dan pada pertengahan shalat si makmum meninggalkan imamnya
dalam keadaan sendiri (sedangkan si makmum menyelesaikan shalatnya). Hal
ini dilakukan semata-mata supaya terlaksananya shalat berjama’ah.
Padahal sangat memungkinkan sekali seandainya mereka melakukan shalat
secara sendiri-sendiri tanpa harus melakukan berjama’ah. Mustahil sekali
melakukan hal ini dan meninggalkan perbuatan yang lainnya hanya
semata-mata pertimbangan sunnat semata yang nota bene perbuatan tersebut
terserah mau dikerjakan atau tidak. Dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk.
Apakah Masjid ditentukan untuk melaksanakan shalat berjama’ah atau tidak?
Apakah shalat berjama’ah itu boleh dilakukan di rumahnya atau mesti
di masjid? Dalam menjawab permasalahan tersebut pada dasarnya ada dua
pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
pertama, shalat berjama’ah itu boleh dilakukan di rumah.
Pendapat ini dianut oleh madzhab Hanafi dan madzhab Maliki dan pendapat
ini pun merupakan salah satu pendapat yang dianut oleh pengikut madzhab
Syafi’i.
kedua, shalat berjama’ah itu tidak boleh dilakukan di rumah kecuali ada alasan syar’i.
Adapun pendapat yang ketiga hanya penambah dari pendapat yang pertama
yang khusus dianut oleh pengikut madzhab Syafi’i. Menurut pendapat yang
ketiga adalah shalat berjama’ah yang dilakukan di masjid itu hukumnya
fardhu kifayah.
Pendapat yang pertama didasarkan kepada hadits yang berkaitan dengan, “Dua orang laki-laki yang melakukan shalat dalam perjalanan.” dimana
Nabi saw menganggap shalat berjama’ah (yakni shalat kedua orang setelah
selesai melakukan shalat sendirian) sebagai shalat sunnat bagi kedua
orang tersebut, seandainya keduanya ikut serta pada waktu itu
mengerjakannya di masjid bersama-sama dengan Nabi saw. Rasulullah saw
tidak mengingkari keabsahan shalat yang dilakukan oleh keduanya dalam
perjalanan. Begitu juga yang dikatakan oleh hadits Mahjan bin Al-Adra’
dan hadist Abdullah bin Umar, sebagaimana telah dikemukakan dalam
pembahasan sebelumnya.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, “Nabi
saw adalah sebaik-baiknya manusia dari segi akhlaknya, terkadang ketika
datang waktu shalat beliau masih berada di rumah kami., kemudian beliau
memerintahkan untuk menghamparkan permadan, menyapu bawahnya dengan
mengepelnya, kemudian beliau berdiri dan kami berdiri di belakangnya dan
beliau shalat bersama kami.” (Bukhari “Al-Shalat” 380 dan Muslim “Al-Masajid” 659).
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah
saw jatuh dari tempat tidur, maka robek sikut tangannya yang sebelah
kanan, kemudian kami masuk ke rumahnya dengan tujuan menengok beliau,
tidak lama kemudian datang waktu shalat, maka beliau shalat sambil
duduk.” (Bukhari “Al-Adzan” 689 dan Muslim “Al-Shalat” 411).
Dan masih dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar, dia berkata, “Saya
bertanya kepada Nabi sawa, masjid apa yang pertama kali dibangun di
muka bumi ini?” Beliau menjawab, “Masjidil Haram, kemudian Masjidil
Aqsa, kemudian tempat dimana saja kamu mendapati waktu shalat, maka
shalatlah kamu, karena tempat itu menjadi masjid.” (Bukhari “Bab Hadits-hadist para Nabi” 3425 dan Muslim “Al-Shalat” 520).
Dalam satu hadits shahih dari Nabi saw, beliau bersabda, “Seluruh permukaan bumi yang bersih bagiku diperbolehkan untuk dijadikan sebagai masjid dan alat bersuc.” (Bukhari “At-Tayammum” 335 dan Muslim “Al-Masajid” 521).
Pendapat kedua didasarkan kepada beberapa hadits yang menunjukan
wajibnya shalat berjama’ah kaerna sesungguhnya perintah mendatangi
masjid dalam hadits-hadits tersebut jelas sekali.
Dalam “Musnad” Imam Ahmad, dari Ibnu Ummi Maktum, dia berkata, “Rasulullah
saw datang ke suatu masjid, beliau melihat kaum sedikit sekali,
kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya aku ingin sekali menyuruh
sesorang untuk mengimami orang-orang, kemudian aku pergi keluar dan aku
tidak akan membiarkan orang-orang yang tinggal dalam rumahnya dan tidak
datang shalat, kecuali aku akan membakar rumah mereka dan sekalian
dengan mereka.” Dan dalam lafadz hadist Abu Dawud dikatakan, “Kemudian
aku mendatangi suatu kaum yang melakukan shalat-shalat di rumah-rumah
mereka tanpa alasan (syar’i), maka akan aku bakar mereka dan rumah-rumah
mereka.” Ibnu Ummi Maktum – seorang laki-laki buta – berkata kepada Rasulullah saw, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw menjawab, “Aku tidak akan mengizinkanmu.” Sebagaimana hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Ibnu Mas’ud berkata, “Seandainy kamu shalat di rumah-rumahmu
sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat
(berjama’ah) dan melakukannya di rumah, berarti kamu telah meninggalkan
sunnah (kebiasaan) Nabimu dan jika kamu telah meninggalkan sunnah
Nabimu, berarti kamu sesat. ” Sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebelumnya.
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, “Nabi saw telah mendatangi
suatu kaum yang sedang shalat, beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan
engkau meninggalkan shalat (berjama’ah)?” Mereka menjawab, “Ada air
(banjir) yang menghalangi kami. ” Beliau bersabda, “Tidak ada shalat
bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.” (HR Darul Quthni. Namun hadits ini dianggap dha’if).
Pengertian tentang hadits tersebut sebagaimana telah dijelaskan dari
Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya. Hal ini dapat dilihat
kembali dalam dalil kedua belas tentang hukum shalat berjama’ah. Adapun
mengenai shah dan tidaknya shalat orang yang meninggalkan shalat
(berjama’ah di masjid) dan melakukannya di rumah tanpa alasan syar’i
terdapat dua pendapa, yaitu:
Abul Barakat dalam syarah kitabnya berkata, “Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat (berjama’ah di masjid) dan melakukan berjama’ahnya
di rumah, maka shalatnya tidak sah apabila dilakukan tanpa alasan
syar’i.” Hal ini didasarkan kepada pendapat yang dipilih oleh Ibnu Aqil
dalam pembahasan hukum orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Dia
telah memilih nahyi (larangan) dan dia memperkuat pendapatnya itu dengan
sabda Rasulullah saw, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.” Karena berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Shalat
seseorang yang dilakukan dengan berjama’ah dilipatgandakan dari
shalatnya yang dilakukan di rumah dan di pasar dengan dua puluh lima
kali lipat.” Dia menganggap sabda Rasulullah saw, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid”, menunjukkan
tidak adanya kesempurnaan sama sekali di antara keduana (shalat sendiri
dan shalat berjama’ah yang dilakukan di rumah).
Abul Barakat berkata, “Riwayat hadits yang pertama yang dipilih oleh
teman-teman kami, menganggap bahwa mendatangi masjid untuk shalat
berjama’ah itu hukumnya tidak wajib. Pendapat ini menurut saya jauh
sekali dari kebenaran jika melihat segi lahiriah teks hadits, karena
shalat (berjama’ah) di masjid itu merupakan syi’ar dan simbol terbesar
agama Islam. Dan meninggalkannya berarti secara total telah
menghancurkan syi’ar agama tersebut dan menghilangkan pengaruh yang
mendasar dari pelaksanaan shalat yang berdampak pada berbagai tingkah
laku. Dengan demikian maka Abdullah bin Mas’ud telah berkata, “Seandainya
kamu shalat di rumah-rumahmu, sebagaimana shalatnya orang yang tidak
datang (ke masjid) dan melakukannya di rumahnya, berarti kamu telah
meninggalkan sunanh Nabimu dan jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu
berarti kamu telah sesat.”
Abu Barakat berkata, “Sessungguhnya pengertian dari riwayat hadits
itu – hanya Alla yang Maha Tahu - sesungguhnya mengerjakan shalat di
rumah diperbolehkan bagi seseorang jika di masjid sudah ada yang
melaksanakannya, maka shalat yang dilakukan di masjid itu hukumnya
fardhu khifayah menurut riwayat ini. Sedangkan menurut riwayat lain
hukumnya fardhu ‘ain.”
Abu Barakat berkata, “Bertitik tolak pada pendapat tersebut, maka
boleh menjama’ dua shalat disebabkan oleh hujan deras. Seandainya yang
diwajibkan itu hanya berjama’ah semata, tanpa harus mengerjakannya di
masjid, maka tidak akan diperbolehkan menjama’ shalat hanya karena
alasan hujan deras. Karena kebanyakan orang pada umumnya mampu
melaksanakan shalat berjama’ah di rumahnya masing-masing. Karena setiap
orang pada umumnya memiliki istri, anak, pembantu, teman atau lainnya,
maka sangat memungkinkan sekali untuk melaksanakan shalat berjama’ah.
Bertitik tolak pada hadits, maka ketika diperbolehkan menjama’ shalat,
tidak diperbolehkannya meninggalkan persyaratannya yaitu waktu shalat.
Jadi menurut pendapat ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa shalat
berjama’ah itu hukumnya fardhu, baik fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain.”
Barangsiapa yang betul-betul ingin mengamalkan hadits, jelaslah
baginya bahwa melaksanakan shalat di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain,
kecuali apabila ada hal-hal yang membolehkannya untuk meninggalkan
shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Tidak mendatangi masjid tanpa
adanya alasan syar’i, sama hukumnya dengan meninggalkan berjama’ah tanpa
adanya alasan syar’i. Pendapat ini sesuai dengan semua hadits dan atsar
(pendapat para sahabat Nabi saw).
Ketika Rasulullah saw wafat dan berita kewafatannya itu sampai kepada
penduduk Mekah. Suhail bin Amar menasehati mereka dan Atab bin Asyad
pegawai (staf) Suhail pergi ke Mekah dengan penuh ketakutan dari
penduduk Mekah. Kemudian Suhail mengajaknya keluar , dan menganjurkan
penduduk Mekah aga tetap berpegang teguh agama Islam. Suhail menasehati
mereka yang kemudia dilanjutkan oleh Atab bin Asyad, dia berkata, “Wahai
penduduk Mekah, demi Allah seandainya sampai kepadaku ada di antara
kamu yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, maka akan aku
penggal lehernya.” Para sahabat Rasulullah saw berterima kasih kepda
Atab atas tindakannya itu, dan bertambah tinggi penghormatan para
sahabat kepadanya.
Orang yang berpegang teguh kepada agama Allah akan berpendapat bahwa
tidak diperbolehkan bagi seseorang meninggalkan shalat berjama’ah di
masjid, kecuali apabila ada alasana syar’i. Hanya Allah yang mengetahui
kebenarannya.
————————–
Berikut artikel tambahan tentang kenikmatan orang yang rajin shalat
berjama’ah di Masjid, terutama ketika mendatangi shalat Isya dan Subuh
di malam hari, orang tersebut berjalan dalam kegelapan malam. Maka Allah
akan memberikannya cahaya yang sempurna pada hari kiamat ketika mereka
menyebrangi gelapnya jembatan shirat yang lebih tipis dari rambut dan
lebih tajam dari pedang ketika menuju Surga sedangkan di bawahnya adalah
Neraka.
Artikel tersebut diambil dari tulisan Ust. Ihsan Tanjung dari
Eramuslim.com, di-artikel tersebut ada bahasan di Al Quran surat
Al-Hadid ayat 12-16 yang menceritakan peristiwa di atas jembatan shirat.
Dimana orang mu’min membawa cahaya, dan orang munafik kehilangan cahaya
di atas jembatan shirat tersebut, sehingga memanggil-manggil orang
mu’min agar memberikan sebagaian cahayanya. Dibagian ini saya sisipkan
Murrotal ayat tersebut yang dibawakan oleh Salma Utaybi, amat syahdu,
mengerikan, menggetarkan hati, dihayati, ada ilustrasi yang pas di video
tersebut yang diambil dari youtube.com.
Amal Perbuatan Yang Memudahkan Mukmin Menyeberangi Jembatan Neraka
http://www.eramuslim.com/suara-langit/kehidupan-sejati/amal-perbuatan-yang-memudahkan-mukmin-menyeberangi-jembatan-neraka.htm
Sebagaimana sudah kita ketahui setiap Ahli Tauhid sebelum berhak
mencapai pintu gerbang surga diharuskan melewati ujian berat yaitu
menyeberangi jembatan yang membentang di atas Neraka Jahannam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam
melukiskan jembatan itu sebagai lebih tipis dari sehelai rambut dan
lebih tajam dari sebilah pedang. Ada mereka yang sukses menyeberanginya,
ada yang sukses namun terluka kena sabetan duri-duri dan besi-besi kait
yang merobek sebagian anggota tubuhnya sementara ada yang gagal
sehingga terjatuh dan terjerembab dengan wajahnya terlebih dahulu masuk
ke dalam api menyala-nyala Neraka Jahannam.
وَلِجَهَنَّمَ جِسْرٌ أَدَقُّ مِنْ الشَّعْرِ وَأَحَدُّ مِنْ السَّيْفِ
عَلَيْهِ كَلَالِيبُ وَحَسَكٌ يَأْخُذُونَ مَنْ شَاءَ اللَّهُ وَالنَّاسُ
عَلَيْهِ كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ وَكَأَجَاوِيدِ الْخَيْلِ
وَالرِّكَابِ وَالْمَلَائِكَةُ يَقُولُونَ رَبِّ سَلِّمْ رَبِّ سَلِّمْ
فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَمَخْدُوشٌ مُسَلَّمٌ وَمُكَوَّرٌ فِي النَّارِ عَلَى
وَجْهِهِ
“Dan Neraka Jahannam itu memiliki jembatan yang lebih tipis dari
rambut dan lebih tajam dari pedang. Di atasnya ada besi-besi yang
berpengait dan duri-duri yang mengambil siapa saja yang dikehendaki
Allah. Dan manusia di atas jembatan itu ada yang (melintas) laksana
kedipan mata, ada yang laksana kilat dan ada yang laksana angin, ada
yang laksana kuda yang berlari kencang dan ada yang laksana onta
berjalan. Dan para malaikat berkata: ”Rabbi sallim. Rabbi sallim.” ( ”Ya
Allah, selamatkanlah. Selamatkanlah.”) Maka ada yang selamat, ada yang
tercabik-cabik lalu diselamatkan dan juga ada yang digulung dalam
neraka di atas wajahnya.” (HR Ahmad 23649)
Setiap orang yang mengaku beriman sudah barang tentu berharap dirinya
masuk ke dalam golongan mereka yang selamat menyeberanginya sehingga
berhak masuk Surga dan dijauhkan dari azab api neraka. Namun
pertanyaannya ialah bagaimana hal itu bisa tercapai? Apa syarat-syarat
agar seorang Mukmin berhak menikmati kesuksesan tersebut? Sebenarnya
dalam hadits lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam telah mengisyaratkan sebagian jawabannya.
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَدْعُو النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِأَسْمَائِهِمْ سِتْرًا مِنْهُ عَلَى عِبَادِهِ، وَأَمَّا عِنْدَ
الصِّرَاطِ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي كُلَّ مُؤْمِنٍ نُورًا،
وَكُلَّ مُؤْمِنَةٍ نُورًا، وَكُلَّ مُنَافِقٍ نُورًا، فَإِذَا اسْتَوَوْا
عَلَى الصِّرَاطِ سَلَبَ اللَّهُ نُورَ الْمُنَافِقِينَ
وَالْمُنَافِقَاتِ، فَقَالَ الْمُنَافِقُونَ انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ
نُورِكُمْ وَقَالَ الْمُؤْمِنُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنا فَلا
يَذْكُرُ عِنْدَ ذَلِكَ أَحَدٌ أَحَدًا
“Allah akan memanggil umat manusia di akhirat nanti dengan
nama-nama mereka ada tirai penghalang dari-Nya. Adapun di atas jembatan
Allah memberikan cahaya kepada setiap orang beriman dan orang munafiq.
Bila mereka telah berada di tengah jembatan, Allah-pun segera merampas
cahaya orang-orang munafiq. Mereka menyeru kepada orang-orang beriman:
”Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kamu.”
(QS Al-Hadid ayat 13) Dan berdoalah orang-orang beriman: ”Ya Rabb kami,
sempurnakanlah untuk kami cahaya kami.”(QS At-Tahrim ayat 8) Ketika
itulah setiap orang tidak akan ingat orang lain.” (HR Thabrani 11079)
Di antara solusinya ialah seorang mukmin mesti mengupayakan agar
dirinya kelak memiliki cukup cahaya agar mampu menyeberangi kegelapan
dan panasnya neraka. Sebab pada saat akan menyeberangi jembatan tersebut
setiap orang dibekali Allah cahaya agar mampu melihat jalan yang sedang
ditelusurinya di atas jembatan tersebut. Dan bila ia termasuk mukmin sejati
cahaya yang diterimanya itu akan setia menemani dan menyinari dirinya
sepanjang penyeberangan itu hingga sampai ke ujung menjelang pintu
surga. Namun jika ia termasuk orang yang imannya bermasalah lantaran
begitu banyak dosanya, apalagi kalau ia termasuk orang munafik, maka di
tengah perjalanan menyeberangi jembatan Allah tiba-tiba padamkan cahaya
yang menemaninya sehingga ia dibiarkan dalam kegelapan dan akibatnya ia
menjadi tersesat dan terjatuh ke dalam api neraka.
Begitu cahaya orang-orang munafik itu mendadak dipadamkan Allah, maka
mereka akan berteriak panik dan memohon kepada orang-orang beriman
sejati agar dibagi sebagian cahaya yang setia menemani mukmin sejati
itu. Sungguh gambaran mengerikan yang dengan jelas diuraikan Allah di
dalam ayat-ayat berikut ini:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ
آَمَنُوا
انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ
الْعَذَابُ يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ
أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى
جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلَا
مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلَاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak, (yaitu) pada hari ketika kamu
melihat orang mu’min laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada
mereka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah
keberuntungan yang banyak. Pada hari ketika orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman:
“Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”.
Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah
sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang
mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya
dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka
(orang-orang mu’min) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama
dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu
sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu
oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu
telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada
hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari
orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu.
Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS Al-Hadid ayat 11-15)
Lalu apakah amal perbuatan yang akan menyebabkan seorang mukmin
memiliki cukup cahaya untuk sukses menyeberangi jembatan itu? Ternyata,
di antaranya ialah kesungguhan seorang mukmin untuk bertaubat dari
dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan. Inilah yang disebut dengan
aktifitas Taubatan Nasuhan (Taubat Yang Murni). Taubatan Nasuha inilah yang akan menyebebkan seorang mukmin memperoleh cahaya yang disempurnakan untuk sukses menyeberangi jambatan Neraka. Bukan taubat musiman
alias taubat yang tidak menyebabkan seseorang benar-benar meninggalkan
perbuatan dosa yang dilakukannya. Perhatikanlah ayat Allah berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً
نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا
يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan Taubatan Nasuhan (taubat
yang semurni-murninya), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS
At-Tahrim ayat 8 )
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, beliau bersabda: ”Shirath itu setajam pedang dan sangat menggelincirkan.” Beliau melanjutkan: ”Lalu
mereka melintas sesuai dengan cahaya yang mereka miliki. Maka di antara
mereka ada yang melintas secepat meteor, ada pula yang melintas
secepat kedipan mata, ada pula yang melintas secepat angin, ada pula
yang melintas seperti orang berlari, dan ada pula yang berjalan dengan
cepat. Mereka melintas sesuai amal perbuatan mereka, hingga tibalah saat
orang yang cahayanya ada di jari jempol kedua kakinya melintas, satu
tangannya jatuh, dan satu tangannya lagi menggantung, satu kakinya jatuh
dan satu kakinya lagi menggantung, kedua sisinya terkena api neraka.”
Kedua, seorang Mukmin akan dijamin memiliki cukup cahaya saat menyeberangi jembatan di atas Neraka jika ia rajin berjalan ke masjid dalam kegelapan untuk menegakkan sholat wajibnya semata ingin meraih keridhaan Allah. Nabi bersabda:
بَشِّرْ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju
masjid-masjid dalam kegelapan dengan cahaya yang sempurna pada hari
Kiamat.” (HR Ibnu Majah 773)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seringkali ketika berjalan menuju ke masjid berdoa dengan doa sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا
وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِ
نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا
“Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, dalam penglihatanku,
dalam pendengaranku, di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di sebelah
atasku, di sebelah bawahku, di depanku, di belakangku dan jadikanlah aku
bercahaya.” (HR Bukhary 5841)
Ketiga, seorang Mukmin akan sukses menyeberangi jembatan
neraka bila ia melindungi sesama mukmin dari kejahatan orang Munafik.
Dan sebaliknya barangsiapa yang mengucapkan perkataan buruk untuk
mencemarkan seorang Muslim, maka Allah akan menghukumnya dalam bentuk ia
ditahan di atas jembatan neraka hingga dosa ucapannya menjadi bersih.
مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ أُرَاهُ قَالَ بَعَثَ اللَّهُ مَلَكًا يَحْمِي
لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ وَمَنْ رَمَى مُسْلِمًا بِشَيْءٍ يُرِيدُ
شَيْنَهُ بِهِ حَبَسَهُ اللَّهُ عَلَى جِسْرِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa melindungi seorang Mukmin dari kejahatan orang
Munafik, Allah akan mengutus malaikat untuk melindungi daging orang itu
–pada hari Kiamat- dari neraka jahannam. Barangsiapa menuduh seorang
Muslim dengan tujuan ingin mencemarkannya, maka Allah akan menahannya di
atas jembatan neraka jahannam hingga orang itu dibersihkan dari dosa
perkataan buruknya.” (HR Abu Dawud 4239)
Saudaraku,
sungguh kita semua sangat membutuhkan cahaya yang mencukupi untuk
menyeberangi jembatan neraka dengan selamat. Semoga Allah masukkan kita
bersama ke dalam golongan Mukmin sejati. Semoga Allah bersihkan hati
kita bersama dari penyakit kemunafikan. Sebab kemunafikan akan
menyebabkan cahaya seseorang tiba-tiba padam saat menyeberangi jembatan
neraka sehingga ia menjadi tergelincir lalu jatuh ke dalam api neraka
yang menyala-nyala. Na’udzubillahi min dzalika…!
اَللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ النِّفَاق وَ اَعْمَالَنَا مِنَ
الرِّيَاء وَ أَلْسِنَتَنَا مِنَ الْكَذِب وَ أَعْيُنَنَا مِنَ الخِْيَانَة
إِنَّكَ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُن وَ مَا تُخْفِ الصُّدُور
Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari kemunafikan, dan ‘amal
perbuatan kami dari riya dan lisan kami dari dusta serta pandangan mata
kami dari khianat. Sesungguhnya Engkau Maha Tahu khianat pandangan mata
dan apa yang disembunyikan hati.
————-
Berikut Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir At-Taubah Ayat 18 tentang Para Pemakmur Masjid sebagai berikut:
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَلَمۡ
يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ
ٱلۡمُهۡتَدِينَ
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun)
selain kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. At Tawbah: 18)
Allah Ta’ala mempersaksikan keimanan para pemakmur masjid,
sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka persaksikanlah dia dengan keimanan.” (HR. Ahmad)
Hadist senada diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Marwadih, dan al-Hakim
di dalam Mustadraknya. Al-Hafid Abud Bakar al-Bazar meriwayatkan dari
Tsabit bin Anas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya para pemakmur masjid itu hanyalah ahli Allah.” (HR. Tirmidzi)
Semua kata ‘Asa (Mudah-mudahan) di dalam Al Quran berarti wajib. Ibnu
Ishak berkata, “Kata ‘Asa (mudah-mudahan) dari Allah berarti benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar