Hukum Fidyah dan Penjelasan Lengkapnya
1. Bagi Siapa Fidyah itu ?
Bagi
ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka
diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya (yang
ditinggalkan, red) seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) “Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa, hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin”. (QS Al Baqarah 184).
Sisi
pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah
tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak
diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan
keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas
Radiyallahu ‘anhu.
2. Penjelasan Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu
Engkau
telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan
yang lalu ayat ini mansukh (sudah dihapuskan hukumnya, red) berdasarkan
dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radiyallahu ‘anhu,
tetapi ada riwayat dari
Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku
bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi yang tidak mampu
berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari atas seorang
miskin. (HR Bukhari 8/135).
Oleh
karena itulah Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu dianggap menyelisihi jumhur
shahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika
engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam
riwayat lain (disebutkan) : “Diberi rukhsah (keringanan, red) bagi
laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa,
hendaknya memberi makan seorang yang miskin dan tidak ada qadha’,
kemudian dimansukh oleh ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa
diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).
Telah
sahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa,
ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka,
kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud (381),
Al Baihaqi (4/230), Abu Daud (2318) sanadnya shahih).
Sebagian
orang ada yang melihat zhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari
pada kitab Tafsir dalam shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh
(dalil yang menghapuskan, red), hingga mereka menyangka Hibrul Ummah
(Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala
diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya
saling pertentangan!!!.
3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah 185) Mansukh
Yang
benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi
dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafush shalih
Radiyallahu ‘anhu menggunakan kata ‘naskh’ untuk menghilangkan pemakaian
dalil-dalil umum, mutlak, zhahir dan selainnya, adapun mengkhususkan
atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad,
penafsirannya, penjelasannya, sehingga mereka menamakan istitsna’
(pengecualian), syarat dan sifat sebagai ‘naskh’. Karena padanya
mengandung penghilangan makna dan zhahir maksud lafadz tersebut. Naskh
dalam bahasa Arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut,
bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/35
karya Ibnu Qayyim dan Al Muwafaqat (3/118) karya Asy Syathibi).
Sudah
diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang
Arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan
hilanglah musykilah (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan
salafus shalih dengan pengertian yang baru, yang mengandung penghilangan
hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i mutakahirin yang dinisbatkan
kepada mukallaf.
4. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang
menguatkan hal ini, ayat diatas adalah bersifat umum bagi seluruh
mukallaf yang mencakup orang yang biasa berpuasa, atau tidak biasa
puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam
Muslim dari Salamah bin al Akwa Radiyallahu ‘anhu : “Kami pernah pada
bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,
barangsiapa yang mau berpuasa, maka berpuasalah, dan barangsiapa yang
mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah
kepada seorang miskin, hingga turun ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).
Mungkin
adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan
adanya nash bahwa rukhshah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah
lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang
jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan
membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits
itusendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang
sudah lanjut usia saja, kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap
berlaku bagi laki-laki dan wanita yang lanjut usia, maka apa makna
rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan (ditolak, red) itu jika
penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?
Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan
tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, hukum pertama
mansukh dengan dalil al Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari
Sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat.
Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : “Telah
tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu
berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui juka khawatir akan
keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap
harinya.”
Dan yang menambah jelas lagi hadits Mu’adz bin Jabal Radiyallahu ‘anhu : “Adapun
keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam saat
datang ke Madinah, menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya,
dan puasa Asyura’, sampai kemudian Allah mewajibkan puasa (Ramadhan)
turunlah ayat : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa…” (QS Al Baqarah 183).
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat : (yang artinya) “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur’an…” (QS Al Baqarah 185).
Allah
menetapkan puasa bagi orang mukim dan sehat, serta memberi keringanan
(rukhshah) bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi
orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya…” (HR Abu Daud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.
Dua
hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu
berpuasa dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni
ayat ini dikhususkan.
Oleh
karena itu Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu mencocoki sahabat, haditsnya
mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah
bin Al Akwa Radhiyallahu ‘anhu dan juga tidak saling bertentangan.
Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : “itu mansukh”,
yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh
dalam pemahaman shahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan
di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh al
Qurthubi dalam tafsirnya. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/288).
5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz hanya ijtihad ?
Mungkin
engkau menyangka wahai saudara muslim, apa yang telah tsabit (tetap
penyebutannya) dari Ibnu Abbas dan Mu’adz hanyalah semata-mata pendapat,
ijtihad dan pengkabaran, sehingga tidak bisa naik ke tingkatan hadits
marfu’ yang bisa mengkhususkan perkara yang sifatnya umum dalam al
Qur’an, membatasi yang mutlak dan menafsirkan yang global, maka
jawabannya adalah sebagai berikut :
a.
Dua hadist ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi
tentang hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Seorang yang
beriman mencintai Allah dan RasulNya tidak boleh menyelisihi dua hadits
ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika
menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan
turunnya al Qur’an, mengabarkan ayat Al Qur’an, bahwa turunnya begini,
maka ini adalah hadits yang musnad. (Lihat Tadribur Rawi (1/192-193)
karya Imam Suyuthi, ‘Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah).
b.
Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil,
darimana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi beliau
mengambil dari Sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi
disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini
mansukh (sudah dibatalkan, red).
Dari
Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita
yang hamil jika mengkhawatrkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (Al Baihaqi dalam as Sunan (4/230) dari jalan Imam Syafi’I, sanadnya shahih).
Daruquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, beliau (Ibnu Umar) berkata : “Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha’.” Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha’, sanadnya jayyid”.
Dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang
Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar
pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.
c.
Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu.
(Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21)).
6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna : “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui”, yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya”, dia bayar fidyah tidak mengqadha’.”
7. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib mengqadha’
Barangsiapa
menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir
sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena al Qur’an
menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir : (yang artinya) “Barangsiapa
diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah 184).
Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firmanNya : (yang artinya) “Dan wajib orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) : memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah 184).
Maka
jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang
yang tercakup dalam ayat itu, bahwa ayat ini adalah khusus untuk mereka.
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok
(PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424
H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, Bab “Fidyah”. Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh
Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th
1416 H. Edisi Indonesia
Dikutip dari: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=756, Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Judul: Siapa yang layak membayar fidyah secara syar’i ?
Fidyah & yang terkait dengannya
Diantara
syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada shaum
Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap
pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum
pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (البقرة: ١٨٤
‘Dan
wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]
a. Pihak – Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah
1. Orang yang sudah lanjut usia.
Orang
yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan
tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya
untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya
membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah
bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, :
ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ الشَّيْخُ
الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا،
فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Shahabat
Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata :
“Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria
lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum
(pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang
miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505]
2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya
Seorang
yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang
sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau juga berkata tentang ayat di
atas :
لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى
“Tidaklah
diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk
orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan
kesembuhannya. [An-Nasa`i] [1])
3. Wanita hamil dan menyusui.
Para
‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui
diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia
tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada
dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun
apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum
sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa
beliau jilid 1 hal. 497-498.
Sedangkan
permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika
dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang
dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :
Pendapat
pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas
wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada
kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau
kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan,
maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya. Dalil Pendapat Pertama ini adalah :
1. Firman Allah subhanahu wata’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا . البقرة: ١٨٤
“…Barang siapa dalam kondisi sakit …”
Bentuk
pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang
tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum
karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang
yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas
dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.
2.
Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat
Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :
…
إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ
الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه
الخمسة)
“Sesungguhnya
Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni
dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta
wanita hamil dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad].([2])
Sisi
pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah subhanahu wata’ala mengaitkan
hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum
bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan
baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak
bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah
sebagaimana musafir.
Pendapat
ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Bin Baz [3]),
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin [4]), dan Al-Lajnah Ad-Da`imah [5])
Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, wajib atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.
Di antara dalil mereka yaitu :
1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]
“Wanita
hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh
bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya
membayar fidyah. [HR Abu Dawud] [6])
2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :
إِذَا
خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي
رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ
مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا
(Ibnu
Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita
menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai
berkata : kedianya boleh
berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang
miskin dan tidak ada qodho’ bagi keduanya. [Ath-Thabari] [7])
Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Engkau
posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu
memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak
bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari] [8])
Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).
3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي
“Wanita
hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan)
dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”
Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. [9])
Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya.
Namun
apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia
sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa
disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib
atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.
Di
antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147. [10])
Dari tiga pendapat di atas,
kami lebih meyakini pendapat kedua sebagai pendapat yang lebih
mendekati kepada kebenaran. Karena pendapat ini adalah pendapat yang
ditegaskan oleh dua shahabat terkemuka, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma sebagai turjuman dan mufassir Al-Qur`an, dan
‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma , wallahu
ta’ala a’lam.
[1] HR. An-Nasa`i no. 2317. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni (2404) dengan lafazh :
وَلاَ يُرَخَّصُ إِلاَّ لِلْكَبِيرِ الَّذِى لاَ يُطِيقُ الصَّوْمَ أَوْ مَرِيضٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُشْفَى.
“Tidaklah
dizinkan (untuk membayar fidyah dalam ayat tersebut) kecuali untuk
orang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu bershaum atau seorang yang
sakit dalam keadaan dia tahu bahwa penyakitnya sulit disembuhkan.”
Atsar tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh dalam Al-Irwa` IV/17
[2]
Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shohih Sunan
Abu Daud no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush
Shohih jilid 2 hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan.
[3] Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam hal. 171
[4] Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin
[5] Fatawa Al-Lajnah no. 1453.
[6] HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` no. 912.
[7] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.
[8] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.
[9] Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17 – 25.
[10] Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 – 326.
BalasHapusArtikel yang sangat bermanfaat sekali.
Sekadar info, Anda juga bisa belajar mengenai Fiqih lewat software ensiklopedi Fiqih, software tentang fiqih lengkap, pertama di Asia berbahasa Indonesia.
Info lebih lengkap klik http://ensiklopedifiqih.com