Selasa, 12 Maret 2013

Berzikir “Allah, Allah”



Apa dalil berzikir “Allah, Allah” (ألله، ألله) ?
Dalil dari al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.  واذكراسم ربك بكرة و أصيلا
     “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang” (Q.S. al-Insan (76): 25)
Di ayat tersebut kita diperintahkan untuk menyebut nama Tuhan kita. Apakah kita ragu bahwa nama Tuhan kita adalah Allah ( ألله )?
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعـبدني وأقم الصلاة لذكري
“ Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaha (20): 14)
Jadi, nama Tuhan kita yang utama adalah Allah. Sedangkan nama-nama-Nya yang lain seperti yang terdapat dalam Asma-ul Husna adalah nama-nama tambahan untuk menunjukkan sebagian dari sifat-sifat-Nya. Di dalam kitab al-Mukhtashar Fi Ma’ani Asma’illahil Husna[1] halaman 13 disebutkan:
“Ketahuliah, sesungguhnya nama ini (ألله-pen) adalah nama yang teragung dari 99 nama yang terdapat dalam riwayat Tirmidzi karena nama ini menunjukkan atas Zat yang menghimpun semua sifat-sifat ketuhanan…”
Dengan demikian, kalau disuruh kita menyebut nama Tuhan (seperti perintah pada surat al-Insan ayat 25 di atas), tentu saja yang lebih utama kita sebut adalah “Allah” meskipun menyebut nama-nama-Nya yang lain adalah bagus pula.
Ayat al-Qur’an yang selanjutnya adalah:
2. يا أيها الذين امنوا اذكروالله ذكرا كثيرا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”[2] (Q.S. al-Ahzab (33): 41)
Allah swt berfirman pula kepada Nabi Zakariya, yang tentunya untuk menjadi pelajaran bagi kita:
واذكرربك كـثيرا وسبح بالعـشي والإبكار
“…Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Q.S. Ali Imran: 41)
Ayat tersebut menganjurkan untuk menyebut nama Tuhan sebanyak-banyaknya. Maka baguslah untuk berzikir “Allah, Allah” dengan sebanyak-banyaknya karena nama Tuhan kita, sekali lagi, adalah “Allah”.
Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk beberapa golongan manusia dalam surat al-Ahzab ayat 35. Salah satu dari golongan tersebut adalah:
“…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah…”
3. واذكراسم ربك وتبتـل اليه تـبتـيـلا
“Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati” (Q.S. al-Muzzammil (73): 8)
Sekali lagi, di ayat tersebut, kita disuruh untuk menyebut nama Tuhan kita. Dan nama Tuhan kita, tidak ragu lagi, adalah “Allah”. Artinya, kita memang disuruh untuk menyebut kata “Allah”.
Berarti sudah enam dalil dari al-Qur’an yang kita cantumkan di sini, walaupun secara penomeran cuma tertulis tiga. Orang yang beriman sebenarnya tidak butuh banyak dalil. Andaikan cuma satu ayat saja dalil dari al-Qur’an yang ditemukan, niscaya cukuplah itu baginya untuk menjadi pegangan. Apalagi ini lebih dari satu ayat. Dan mungkin pula dalil dari al-Quran tentang ini sebenarnya lebih banyak dari jumlah yang bisa kami cantumkan di sini.
Sedangkan dalil dari hadits Nabi saw adalah sebagai berikut:
لا تـقوم الساعة حتى لا يـبـقى عـلى وجه الارض من يـقول الله الله
“Kiamat tidak akan terjadi sampai tidak ada lagi di muka bumi orang yang mengucapkan: “Allah, Allah” (H.R. Muslim)
Kami rasa hadits tersebut cukup jelas berbicara tentang zikir “Allah, Allah”. Dari hadits tersebut juga dapat kita pahami secara tersirat bahwa orang yang mengucapkan “Allah, Allah” memang akan semakin sedikit jumlahnya sampai akhirnya tidak ada lagi sama sekali. Ketika tidak ada lagi orang yang mengucapkan “Allah, Allah”, maka terjadilah kiamat. 
Ada orang yang membantah zikir “Allah, Allah” ini dengan alasan bahwa zikir tersebut kalimatnya tidak sempurna, hanya “Allah” saja, mestinya kan ditambah dengan  suatu sifat Tuhan, umpamanya “Allahu Akbar” dengan demikian kalimatnya menjadi tidak mengambang. Bagaimana hal tersebut?
Kalimat “Allahu Akbar” memang adalah suatu bentuk zikir. Tapi itu bukan berarti bahwa zikr “Allah, Allah” itu lantas harus ditolak. Kenapa demikian? Karena tidak ada satu dalilpun yang mewajibkan penyebutan nama Allah itu harus diiringi dengan salah satu sifat-Nya. Alasan orang yang membantah seperti itu cuma alasan dengan logikanya saja. Dan kami kira itu adalah karena kekurangan ilmunya tentang nama “Allah” ini. Sebab para ulama telah menerangkan bahwa nama “Allah” itu adalah nama yang menghimpun seluruh sifat dan hakikat ketuhanan (lihatlah kitab al-Mukhtashar Fi Ma’ani Asma’illahil Husna halaman 13). Berarti kata “Allah” itu saja sebenarnya sudah lengkap karena sudah mengandung keseluruhan dari sifat-sifat ketuhanan. Namun adakalanya suatu sifat ketuhanan itu perlu ditekankan kepada umat sehingga disebutlah sifat tersebut setelah nama Allah. Kata Allahu Akbar, misalnya, adalah untuk menekankan sifat Maha Besar-nya Allah ke dalam hati ummat. Padahal seandainya kata Akbar itu tidak disebut, dia sebenarnya sudah terkandung dalam nama “Allah” itu sendiri. Orang yang tidak mengetahui hal ini sajalah, kami kira, yang akan mengatakan kata ِAllah itu tidak lengkap atau mengambang. Dan tolong perhatikan kembali hadits shahih riwayat Muslim di atas. Pada hadits tersebut jelas-jelas Nabi saw sendiri yang mencontohkan kata “Allah, Allah” itu. Kalau hal itu tidak boleh, niscaya tidak akan muncul hadits tersebut.
Tetapi apakah Nabi Muhammad saw memang mengamalkan zikir “Allah Allah” ini?
Saudaraku, hadits riwayat Muslim yang kami cantumkan di atas, walaupun disampaikan dalam bentuk kalimat berita, sebenarnya kalau kita mau merenungkannya dengan jernih, jelas tersiratlah di situ anjuran untuk mengamalkannya. Nabi tidak akan menganjurkan sesuatu kalau beliau sendiri belum mengamalkannya. Apalagi ayat-ayat al-Qur’an yang telah kami cantumkan di atas jelas-jelas berbentuk suruhan. Renungkanlah kembali ayat-ayat tersebut.
Memahami Zikir “Allah, Allah” Dengan Pendekatan “Cinta”
Saudaraku, saya pernah memiliki seorang teman sekelas ketika masih bersekolah di sebuah Aliyah negeri di Jakarta dulu. Selain sekelas, dia juga teman duduk saya—persis di samping saya duduknya setiap hari—karena pada masa itu semua siswa duduk berdua-dua satu meja. Kebetulan, kawan saya itu, jatuh cinta pada seorang siswi yang juga bersekolah di Aliyah tersebut (tapi bukan berarti berpacaran itu boleh ya). Setiap hari, saya perhatikan, teman saya ini selalu menyebut nama siswi tersebut berulang-ulang dengan demikian syahdunya. Ya, hanya namanya saja, tanpa tambahan kata apapun. Suatu saat saya tanya, tentu saja dengan logat bahasa Jakarta, “Kenapa sih lu sering banget nyebut nama dia? Nggak bosen apa?”. Dengan polos dia menjawab, “Nggak tau, rasanya… gimana gitu, kalo nyebut nama dia itu”
Saudaraku, kalau Anda masih saja sulit memahami realitas kebenaran zikir “Allah, Allah” itu, setelah sejumlah dalil dari al-Quran dan hadits itu telah kami kemukakan, mungkin ada baiknya Anda memahaminya dari pendekatan ini, pendekatan cinta. Kisah kecil tentang teman saya di atas itu adalah kisah nyata, tidak saya karang-karang, yang mana hal itu menunjukkan bahwa orang yang jatuh cinta pada sesuatu atau seseorang itu akan sering menyebut nama dari sesuatu atau seseorang tersebut, walau tanpa tambahan kata apapun. Hal ini terjadi karena dia merasakan suatu kenikmatan tersendiri yang tidak bisa dilukiskan dan diungkapkan dengan kata-kata kepada orang lain. Kenikmatan itu juga hanya dia sendiri yang bisa merasakannya. Orang lain tidak akan bisa merasakan kenikmatan itu. Orang yang pernah mengalami rasa jatuh cinta, insya Allah akan bisa memahami penjelasan ini.
Begitulah fenomena cinta terhadap sesama manusia, Saudaraku. Maka bagaimanakah halnya seseorang yang jatuh cinta kepada Tuhannya? Bukankah orang mukmin itu dalam al-Quran dikatakan Sangat cinta kepada Allah? (lihat surat al-Baqarah ayat 165). Maka apakah yang aneh dengan zikir “Allah, Allah”? Itulah ungkapan cinta, seorang hamba kepada Tuhannya. Orang yang mengalami perasaan cinta kepada Allah akan merasakan suatu kenikmatan tersendiri ketika menyebut kata “Allah, Allah”. Dan bagi orang yang belum mengalami rasa cinta kepada Allah, insya Allah, penyebutan kata “Allah, Allah” itu akan mengasah sedikit demi sedikit rasa cinta tersebut. Akan menyulut sedikit demi sedikit rasa kerinduannya kepada Allah, sampai akhirnya berkobar dan membakar (membakar segala dosa, kesalahan, dan sifat-sifat hawa nafsu yang rendah).
Orang yang tidak memiliki api, tidak akan bisa memasak, Saudaraku. Tidak ada satupun yang bisa dia matangkan, karena dia tidak memiliki api. Orang yang memiliki api kerinduan kepada Allah maka dia akan bisa mematangkan sifat-sifat terpujinya, akhlakul karimahnya (tapi tentu saja hal itu membutuhkan waktu).
Semestinya Tidak Heran Lagi, Karena Bukti Dari Tuhanpun Sudah Sangat Jelas
Apa bukti dari Tuhan? Lihatlah, bukankah sudah tersebar di mana-mana, adanya awan yang membentuk nama Allah ( الله )? Ya, Allah saja, tanpa tambahan kata apapun. Ada pula lebah yang melukis nama Allah di sarangnya. Ya, kata Allah saja, tanpa tambahan kata apapun. Pohon kaktus yang membentuk nama Allah. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini sudah beredar luas di mana-mana, lewat kaset-kaset VCD ataupun di internet. Hal ini tentunya menjadi bukti yang jelas, dari Tuhan sendiri, akan kebolehan menyebut nama “Allah” tanpa diiringi tambahan kata apapun. Namun bagaimanapun, urusan petunjuk adalah urusan Allah. Kita serahkan hal itu kepada-Nya. Wassalam.
*Muhammad Al-Amin, Tuanku Sidi Mandaro.
*Muaro Sijunjung, Rabu 27 Juli 2011.


[1] Karya al-Ustadz Mahmud Samiy, Kairo: Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, Isa Babil Halabi wa Syirkah. Ditulis tahun 1366 H.
[2] Redaksi terjemahan seperti ini terdapat dalam Al-Qur’an Dan Terjemahnya Departemen Agama Republik Indonesia Revisi terjemah 1989 penerbit Toha Putra Semarang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar