Senin, 11 Maret 2013

Wejangan tentang Pacul Sunan Kalijaga

Wejangan tentang Pacul Wejangan Sunan Kalijaga tentang Pacul yang diberikan kepada Ki Ageng Sela juga sangat menarik untuk dikaji. Wejangan yang nampaknya sederhana itu bermakna sangat dalam.
Pacul atau cangkul merupakan senjata utama andalan para petani. Senjata yang ampuh  ini digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Menurut wejangan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Sela, cangkul terdiri dari 3 bagian, yaitu: 1) Pacul (bagian yang tajam), 2) Bawak (lingkaran tempat batang doran), dan 3) Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul).
1) Pacul. Pacul dari kata: ngipatake barang kang muncul, artinya membuang bagian yang mendugul (semacam benjolan yang tidka rata). Sifatnya memperbaiki. Sebagai umat Islam, kita harus selalu berbuat baik dan selalu memperbaiki hidup kita yang penuh dosa. Maka, seperti halnya pacul yang baik, yaitu kuat dan tajam, kita harus kuat iman, tajam pikiran kita untuk berbuat kebaikan. Jadi, falsafah pacul tersebut mengandung makna ajaran agama yang tinggi nilainya.
2) Bawak. Bawak dari kata obahing awak, artinya geraknya tubuh. Maksudnya: sebagai orang hidup wajib bergerak tubuh akan menjadi sehat. Arti istilah yang luas, bahwa sebagai manusia kita wajib berikhtiar, seperti halnya bekerja untuk memperoleh nafkah dunia dan bergerak mengerjakan shalat untuk memperoleh nafkah batin.
“Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.
KI AGENG SELO MENANGKAP PETIR
Sejak kecil, aku sudah mendengar dongeng tentang kesaktian Ki Ageng Selo yang bisa menangkap petir dengan tangan kosong.
Saat itu kakekku yang menuturkannya di hadapan kami, cucu-cucunya yang sedang berkumpul di rumahnya. Bahwa pada suatu hari, Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawahnya yang terbentang luas. Namun mendadak, hari yang cerah tersebut tiba-tiba berubah mendung. Dan dalam waktu singkat, datanglah bunyi petir yang menggelegar. Semakin lama petir itu seolah bertambah mendekat, bahkan menyambar-nyambar di atas kepalanya yang hanya berpenutup caping.
Sebagai murid Sunan Kalijaga, sudah berulang kali Ki Ageng Selo mengucap “Subhanallah”, agar petir yang menyambar itu berhenti. Namun petir tersebut tetap menggelegar, bahkan ketika hujan sudah turun dengan derasnya. Hingga ketika petir itu hendak menyambar kepalanya lagi, Ki Ageng Selo dengan sigap kemudian menangkapnya. Dan terjadilah perkelahian hebat di tangah sawah dalam guyuran hujan. Hingga akhirnya petir dapat dikalahkan, dan kemudian diikatkan pada sebatang pohon gandri, di pinggiran persawahan.
Setelah mengisahkan dongeng itu, kakek kemudian berpesan pada kami semua, agar ketika ada petir menggelegar ucapkanlah “Aku ini cucu Ki Ageng Selo!” Dan kami semua waktu itu, percaya saja dengan dongeng itu. Karena konon, dengan meneriakkan ucapan itu petir akan berhenti menyambar. Sebab sudah sejak dulu kala, petir telah takut dan tunduk pada Ki Ageng Selo.
Dan sepertinya, kepercayaan itu masih berkembang hingga sekarang. Ketika menyebut nama Ki Ageng Selo, maka yang teringat dalam benak orang Jawa, adalah sosok sakti yang mampu menangkap petir.
Begitupun ketika aku sedang mengumpulkan bahan untuk novelku, perihal sosok Ki Ageng Selo. Karena dia adalah ayah dari Ki Ageng Ngenis, dan kakek dari Ki Ageng Pemanahan. Sosok yang juga merupakan guru Joko Tingkir, yang dalam novelku menjadi tokoh yang sedang berhadapan dengan Penangsang.
Kepercayaan masyarakat Jawa perihal penangkapan petir oleh Ki Ageng Selo masih sangat lekat. Bahkan untuk membuktikan bahwa kisah itu benar adanya, ditunjukanlah sebatang pohon yang telah ratusan tahun umurnya. Pohon gandri, yang dulu konon menjadi tempat menambatkan sang petir yang telah takluk dan kalan. Dan pohon tua itu, kini masih ditemukan di dekat makam Ki Ageng Selo, di desa Selo, kecamatan Tawangharjo, kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Bukti lainnya adalah bentangan persawahan yang oleh masyarakat Selo sekarang dikenal dengan nama ‘sawah udreg’. Karena konon, di sawah itulah, dulu terjadi pertarungan hebat (udreg-udregan). Sawah yang menjadi tempat penangkapan petir, dan menaklukannya. Letak sawah tersebut kini bisa ditemukan di sebelah barat makam Ki Ageng Selo.
Sementara bukti berikutnya, adalah yang paling populer dalam masyarakat Jawa, yakni terdapatnya sebuah pintu di masjid agung Demak. Yakni sepasang daun pintu, yang dikenal sebagai ‘lawang bledheg’ atau pintu petir. Menurut juru kunci masjid, begitulah konon gambar dari petir yang dulu ditangkap Ki Ageng Selo. Petir yang wujudnya telah tergambar menjadi hiasan pintu utama masjid agung Demak.
Dalam daun pintu itu tergambar sepasang kepala ular naga yang sedang menganga, memperlihatkan taring-taringnya yang tajam. Yang dengan mengerikannya seolah sedang kelaparan dan tengah mencari mangsa. Matanya yang bulat tajam, makin menambah keangkeran dengan giginya yang runcing setajam gergaji. Sementara pada sekeliling kepala petir mengerikan itu, terdapat hiasan yang juga mencekam.
Kalau tidak sedang menulis novel Penangsang, mungkin aku tak tertarik mencari tahu tentang sosok Ki Ageng Selo, yang telah kudengarkan dongengnya sejak kecil dulu. Hingga suatu waktu, aku mendapatkan kisahnya dari sebuah buku lama berjudul ‘Ki Ageng Selo Menangkap Petir, diungkap dari legenda untuk generasi muda’. Buku terbitan tahun 1983, hasil karya T. Wedy Utomo, yang mendapat dukungan dari pihak bupati Grobogan dan dinas pariwisata Jawa Tengah.
Dari buku lama itulah, kemudian kudapatkan penafsiran, bahwa sesungguhnya kisah tentang penangkapan petir hanyalah cerita kiasan dongeng belaka. Suatu pesan yang disampaikan dengan bahasa perlambang. Bahwa petir yang dimaksudkan, adalah kiasan dari sikap angkara murka yang selalu ada dalam diri manusia. Sikap amarah yang karena panasnya, justru bisa membakar hati dan menghanguskan jiwa. Maka agar terbebas dari sambaran nafsu amarah, harus bisa mengendalikannya. Harus mampu mengalahkannya dan mengikatnya dalam hati sanubari kita sendiri.
Dan kiasan itu semakin dimatangkan, ketika digambarkan menjadi hiasan pada pintu masjid Demak. Karena untuk masuk masjid dan melakukan shalat, secara tidak langsung para jamaah akan melihat daun pintu tersebut ketika melangkahinya. Sebuah pengingat, bahwa sebelum melakukan shalat harus membersihkan pikiran dan perasaan dari segala kekotoran, termasuk hawa angkara murka seperti yang tergambar dalam ‘lawang bledheg’ itu. Atau juga bermakna, dengan melakukan shalat, maka petir amarah yang menyambar-nyambar dalam diri kita bisa ditaklukan dengan mudah.
Persis seperti kisah Ki Ageng Selo yang menangkap petir dengan tangan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar