Selasa, 05 Februari 2013

SEDULUR PAPAT, LIMA PANCER

Judul di atas seringkali ditanyakan oleh sahabat-sahabat fesbuker, sama halnya dengan arti tasawuf dan tarekat. Tapi sungguh tidak mudah mengulas makna “Sedulur papat, lima pancer” atau empat saudara kita ditambah  yang kelima yang berhubungan lurus dan langsung. Nah, baru menterjemahkannya saja sudah sulit mencari padanan katanya, supaya menghasilkan arti yang tepat.

Istilah “sedulur papat, lima pancer” sampai sekarang diketahui bersumber dari Suluk Kidung Kawedar atau disebut pula Kidung Sarira Ayu, bait ke 41 – 42. Suluk ini diyakini masyarakat sebagai karya Sunan Kalijaga (sekitar abad 15 – 16), yang berupa tembang-tembang tamzil. Ada empat  hal yang  agak menyulitkan penafsiran dan pemahaman tembang tersebut. Pertama, karena berupa tembang tamzil, uraiannya pendek-pendek dan penuh dengan tamzil atau pun perumpamaan, tanpa ada penjelasan sebagaimana tulisan prosa.
Kedua, suluk-suluk periode itu termasuk Kidung Kawedar, menggunakan gaya bahasa peralihan dari Jawa Kuno ke Jawa Madya (Pertengahan) yang berbeda dengan gaya bahasa Jawa sekarang, apalagi bahasa Indonesia.
Ketiga, suluk yang dimaksudkan sebagai dakwah ini, menyusup secara halus ke dalam adat-budaya dan agama masyarakat yang masih menganut agama Syiwa (Hindu) – Budha, dengan harapan Islam dapat masuk dan berkembang tanpa harus menimbulkan gejolak besar di masyarakat. Akibatnya istilah serta nilai- nilai keislaman bercampur-baur dengan istilah dan nilai-nilai Syiwa-Budha- Kejawen.
Keempat, suluk yang berupa kidung yang diciptakan para Wali pada masa Kesultanan Demak, merupakan bagian dari ilmu tasawuf, sehingga guna memahami hakikatnya, tidak bisa hanya berdasarkan kata serta kalimat yang tersurat semata, apalagi sepotong-sepotong, melainkan harus menyelami makna yang tersirat dari keseluruhan isi kidung sebagai suatu kesatuan.
Lantaran berupa tembang tamzil, maka kemudian banyak orang yang mencoba menafsirkannya, tentu saja dengan versi masing-masing tergantung latar belakang pengetahuan dan kehidupannya.
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah terlebih dulu kita kutip dua bait kidung yang mengulas masalah “sedulur papat, lima pancer” ini, sebagai berikut:
Bait 41.
Ana kidung akadang premati,
among tuwuh ing kawasanira,
nganakaken saciptane,
kakang kawah punika,
kang rumeksa ing ngawak mami,
anekakaken sedya,
ing kawasanipun,
adhi ari-ari ika, kang mayungi ing laku kawasaneki,
anekakaken pangarah.
Terjemahan bebasnya:
Ada kidung yang berhubungan erat dengan kehati-hatian,
bertugas mengatur kehidupan,
mewujudkan apa yang dikehendaki,
itulah dia Kanda Ketuban (kakang kawah),
yang menjaga diriku,
memenuhi kehendakku,
merupakan kewenangannya,
Adinda Ari-Ari ( adi atau dinda plasenta),
berwenang menaungi segala perbuatan,
memberikan arahan.

Bait 42.
Ponang getih ing rina wengi,
ngrewangi Allah kang kuwasa,
andadekaken karsane,
puser kawasanipun,
nguyu-uyu sabawa mami,
nuruti ing panedha,
kawasanireki,
jangkep kadang ingsun papat,
kalimane pancer wus dadi sawiji,
tunggal sawujuding wang.

Terjemahan bebasnya:
Adapun darah, siang malam bertugas,
membantu Gusti Allah Yang Maha Kuasa,
mewujudkan keinginan,
sedangkan tentang  pusar (tali pusar),
memperhatikan setiap gerak-gerikku,
memenuhi permohonan,
itulah kewenangannya,
lengkap sudah empat saudaraku,
yang kelima, yang lurus langsung, sudah menjadi satu,
menyatu dalam wujudku.

Demikianlah saudaraku, bersumber dari kidung tersebut selanjutnya muncul berbagai penafsiran beserta amalan-amalannya. Saya mencatat selama ini ada lima penafsiran yakni, pertama, penafsiran fisik ragawi persis sebagaimana yang disebut dalam kidung. Artinya, “sedulur papat, lima pancer” yaitu ketuban,  ari-ari, darah (yang tumpah atau keluar menyertai kelahiran kita) dan tali pusar, sedangkan yang kelima adalah ruh yang menyatu di diri kita. Keempat saudara– ketuban, ari-ari (plasenta), darah dan tali pusar — setia mendampingi dan menyertai kita semasa bayi, baik tatkala masih di dalam perut maupun sewaktu lahir ke dunia. Meskipun sesudah kita lahir secara fisik keempat saudara itu sudah tidak berguna lagi, sesungguhnya secara spiritual tidaklah demikian. Mereka tetap mendampingi kita dengan kemampuan dan kewenangan seperti  diuraikan tadi. Sebagaimana layaknya sebuah hubungan, mereka akan setia membantu kita apabila kita juga senantiasa peduli terhadapnya.
Penafsiran versi kedua yaitu berupa empat macam nafsu yang berada di dalam diri manusia, yaitu (1). Nafsu supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup kita. (2).Nafsu amarah yang berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4) Nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang telah menguasai keimanan (mungkin lebih tepat nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan), yang membawa sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal. Sedangkan saudara yang kelima (5)  yaitu hati nurani.
Penafsiran versi ketiga adalah empat unsur atau anasir alam yang membentuk jasad manusia, yaitu tanah, air, api dan angin. Sedangkan unsur yang kelima adalah diri dan jiwa manusia itu sendiri.
Penafsiran keempat, yaitu cipta, rasa, karsa, karya dan jati diri manusia. Hal itu disimbolkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita wayang. Cipta disimbolkan sebagai tokoh Semar, rasa sebagai tokoh Gareng, karsa sebagai Petruk, karya sebagai Bagong dan jati diri manusia sebagai tokoh ksatria,  antara lain Arjuna.
Penafsiran kelima yaitu 4 (empat) malaikat yang menjaga setiap orang. Malaikat Jibril menjaga keimanan, malaikat Izrail menjaga kita agar senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, malaikat Israfil menerangi qalbu kita dan malaikat Mikail mencukupi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Sedangkan yang kelima adalah Sang Guru Sejati yang tiada lain adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Penafsiran versi kelima ini merunut  ajaran Sunan Kalijaga sendiri sebagaimana diuraikan dalam Kidung Kawedar, khususnya bait ke 28 dan 29. Bait tersebut menuturkan adanya keempat malaikat tadi beserta tugasnya dalam menjaga setiap manusia.
Saudaraku, mungkin masih ada lagi penafsiran yang lain. Tapi yang sudah saya  ketahui baru lima itu tadi. Sementara saya sendiri memberikan catatan atas tafsir kelima. Saya cenderung memilih tafsir ini tapi malaikatnya bukan Jibril, Izrail, Israfil dan Mikail, melainkan  malaikat Hafazhah atau malaikat Penjaga sesuai firman Gusti Allah dalam   Al Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 dan Surat Al Infithar ayat 10 – 12, tentang adanya malaikat-malaikat yang menjaga dan memelihara  manusia secara bergiliran.
Dalam Tafsir Al Azhar mengenai  Surat Ar-Ra’ad ayat 11, Buya Hamka menulis giliran tugas malaikat-malaikat tersebut sesuai hadis adalah pada waktu subuh dan sehabis waktu asar. Dalam suatu riwayat yang lain (namun saya belum menemukan sumber rujukan yang sahih, kecuali dalam kisah-kisah), diceritakan jumlah malaikat Hafazhah yang menjaga dan memelihara kita sebanyak 5 (lima) orang. Dua bertugas di siang hari, dua di malam hari dan yang satu lagi tidak pernah berpisah dengan diri kita.
Mengenai malaikat ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, bersabda: “ Tidak seorang pun dari  antara kamu, melainkan telah diwakilkan untuknya temannya dari jin dan temannya dari malaikat. Para Sahabat bertanya: ‘ Engkau juga ya Rasulullah?’ Beliau menjawab:  ‘Aku juga! Tetapi Allah selalu menolongku atasnya, maka tidaklah dia menyuruhkan kepadaku melainkan yang baik-baik’”.
Kepedulian yang bagaimana dan apa yang harus kita lakukan agar malaikat “sedulur” kita, menjaga kita dengan sebaik-baiknya? Buya Hamka menjelaskan dengan mengingatkan Surat Az-Zukhruf ayat 36, yaitu “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah Yang Maha Pengasih, niscaya Kami sertakan setan sebagai temannya (yang selalu menyertainya).” Maka menurut Buya, selama zikir kita kepada Allah masih kuat dan ibadah masih teguh, pengawalan dari malaikatlah yang bertambah banyak, dan jika kita lalai dari jalan Tuhan, datanglah teman dari iblis, jin dan setan.
Selain itu, pada hemat penulis,  janganlah lupa sewaktu membaca salam diakhir salat, untuk bermurah hati dengan meniatkan menyedekahkan salam yang pada hakekatnya adalah doa, di samping kepada makhluk-makhluk Allah yang nampak mata, juga kepada yang tak nampak mata termasuk para malaikat penjaga kita.
Demikianlah, beberapa penafsiran terhadap “Sedulur Papat, Lima Pancer”. Mana yang paling tepat, yang paling benar? Hanya Gusti Allah Yang Maha Tahu.
Subhanallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar